Kritik Dibalas Doxing, Pengamat Soroti Pembungkaman Suara Publik di Samarinda

Ilustrasi Doxing. (Foto: Istimewa)

Samarinda, Kaltimetam.id – Iklim kebebasan berpendapat di Indonesia kembali mendapat sorotan, kali ini datang dari Kota Samarinda. Isu mengenai praktik doxing dan aktivitas buzzer yang menyerang individu dengan menyebarluaskan data pribadi menjadi perhatian publik, menyusul insiden yang menimpa pendiri media lokal Selasar.co, Achmad Ridwan.

Peristiwa ini bermula ketika akun media sosial resmi Selasar.co mengunggah sebuah video monolog yang berisi kritik terhadap kelompok buzzer yang dianggap telah menyebarkan identitas pribadi seorang konten kreator bernama Kingtae.life. Konten kreator tersebut dikenal cukup vokal dalam mengkritisi pembangunan Kota Samarinda melalui unggahan-unggahan di media sosialnya.

Tak berselang lama, Ridwan menjadi sasaran serangan balik. Sebuah akun anonim di Instagram menyebarkan foto identitas Kartu Tanda Penduduk (KTP)-nya secara terbuka. Tindakan ini memicu kekhawatiran luas terkait pelanggaran privasi serta munculnya budaya membungkam kritik melalui intimidasi digital.

Menanggapi hal tersebut, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Mulawarman (UNMUL), Syaiful Bachtiar, menyampaikan kecaman keras terhadap praktik doxing yang terjadi. Ia menilai bahwa kejadian semacam ini bukan hanya bentuk pelanggaran terhadap hak privasi seseorang, tetapi juga merupakan serangan langsung terhadap nilai-nilai demokrasi.

“Doxing adalah bentuk kekerasan digital yang nyata. Ketika seseorang menyuarakan pendapatnya berdasarkan fakta, apalagi terkait dengan kebijakan publik, maka seharusnya negara hadir melindungi, bukan membiarkannya diintimidasi,” ujarnya.

dijamin sepenuhnya oleh konstitusi Indonesia. Ia merujuk pada Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Selain itu, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 juga secara eksplisit mengatur tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.

“Jika pendapat tersebut disampaikan berdasarkan fakta, dan tidak mengandung ujaran kebencian atau fitnah, maka negara harus berada di pihak warga yang bersuara,” tegasnya.

Syaiful juga menyoroti fenomena buzzer yang semakin hari kian meresahkan. Ia menyebut keberadaan akun-akun buzzer yang bekerja untuk membentuk opini publik tertentu, bahkan sampai pada tahap menyerang individu yang berbeda pandangan, sebagai salah satu bentuk pembusukan demokrasi digital.

“Buzzer yang berperan menyebarkan informasi dengan motif tertentu, apalagi sampai melakukan doxing terhadap lawan opininya, adalah bentuk nyata pelemahan demokrasi. Ini tidak boleh dibiarkan. Ini harus menjadi perhatian bersama,” tambahnya.

Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa intimidasi, baik secara verbal maupun nonverbal, terhadap individu yang menyampaikan kritik tidak hanya merugikan orang yang diserang, tetapi juga menciptakan efek jera di masyarakat luas. Hal ini bisa memicu ketakutan kolektif untuk bersuara, yang pada akhirnya mempersempit ruang diskusi publik yang sehat.

“Jika praktik seperti ini dibiarkan, maka lama-lama masyarakat akan takut berbicara. Ini bahaya sekali. Demokrasi justru tumbuh dan berkembang melalui kritik dan partisipasi warga,” ucapnya.

Ia juga mendesak agar aparat penegak hukum serta pemerintah daerah memberikan perhatian serius terhadap kejadian ini. Menurutnya, sudah saatnya pemerintah memberikan perlindungan hukum yang nyata bagi warga yang menjadi korban doxing dan intimidasi digital.

“Perlindungan terhadap korban doxing harus menjadi prioritas. Jangan sampai masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum karena pembiaran terhadap pelanggaran ini,” tegasnya.

Terakhir, Syaiful menyerukan agar semua pihak, termasuk media, akademisi, dan masyarakat sipil, turut aktif mengawal kebebasan berpendapat di ruang publik dan digital. Ia percaya bahwa hanya dengan partisipasi kolektif, iklim demokrasi yang sehat dapat dipertahankan.

“Fenomena ini bukan hanya soal satu-dua orang. Ini soal masa depan demokrasi kita. Jika kita diam, maka kita ikut membiarkan demokrasi dilumpuhkan oleh ketakutan,” pungkasnya. (SIK)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id