Tanah Bergerak Diduga Dampak Tambang, Warga KM 28 Desa Batuah Minta Kepastian Relokasi

Tanah longsor di Kilometer 28 Desa Batuah. (Foto: Siko/Kaltimetam.id)

Kaltim, Kaltimetam.id – Dua bulan sudah berlalu sejak bencana tanah bergerak melanda kawasan Jalan Poros Balikpapan-Samarinda Kilometer 28, Desa Batuah, Kecamatan Loa Janan, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Namun, puluhan warga yang menjadi korban masih hidup dalam ketidakpastian. Mereka menunggu kejelasan relokasi yang hingga kini belum juga diberikan oleh pemerintah.

Di tengah kondisi cuaca yang tidak menentu panas menyengat di siang hari dan dingin yang menusuk di malam hari warga yang mengungsi terus mencoba bertahan. Mereka tinggal seadanya di tenda-tenda darurat yang dibangun di dekat lokasi bencana. Tidak hanya menghadapi kondisi fisik yang serba terbatas, warga juga harus memendam kecemasan yang tak kunjung usai, sebab hingga kini belum ada keputusan resmi mengenai relokasi.

“Awalnya itu bulan Januari, lantai dapur saya mulai retak. Lama-lama makin parah, hujan sering deras, terus tanggal 24 April jalan poros itu ambles, tanah bergerak, rumah-rumah roboh,” kenang Rosnawati (43), salah satu warga terdampak yang kini tinggal di posko pengungsian bersama keluarganya.

Dari data warga, hingga saat ini ada 21 rumah warga dan 1 masjid yang terdampak bencana tersebut. Dari jumlah itu, 10 rumah telah roboh total dan tidak dapat dihuni lagi, sementara 11 rumah lainnya mengalami kerusakan berat dan sewaktu-waktu dapat ikut ambruk.

“Rumah saya kena dampak di bagian dapur. Bagian depan masih bisa ditempati, tapi sudah tidak aman. Banyak warga yang rumahnya sudah roboh total, tidak bisa ditinggali sama sekali,” tambahnya.

Bagi warga yang masih bertahan di tenda pengungsian, kehidupan sehari-hari dipenuhi berbagai keterbatasan. MCK yang tidak memadai, kondisi tenda yang panas dan pengap di siang hari serta dingin dan lembap di malam hari, serta serbuan nyamuk menjadi tantangan utama.

“Saya tinggal di sini dengan suami dan empat anak. Malam banyak nyamuk, siang panas, kalau mau mandi atau buang air harus ke rumah ipar. Di sini tidak ada MCK,” tuturnya.

Sebagian warga memilih mengungsi ke rumah kerabat, sementara yang lain seperti Rosnawati dan tetangganya yang tidak mau di sebut namanya tidak punya pilihan selain bertahan di posko.

“Yang masih tinggal di sini ada dua kepala keluarga. Yang lain sebagian besar sudah ke rumah keluarga,” jelasnya.

Hingga kini, warga mengaku belum mendapatkan kejelasan dari pihak pemerintah mengenai rencana relokasi ataupun penyediaan lahan pengganti.

“Pemerintah desa pernah datang, dulu sebelum rumah-rumah banyak yang roboh. Tapi setelah parah, sudah tidak ada kunjungan lagi. Tidak ada kabar soal relokasi. Katanya ada wacana, tapi belum jelas,” kata Rosnawati.

Yang lebih membuat warga khawatir adalah sistem pinjam pakai lahan yang kabarnya ditawarkan oleh pemerintah, sementara lahan tempat rumah mereka berdiri selama ini adalah tanah milik pribadi dengan sertifikat lengkap.

“Kami punya tanah sendiri, ada sertifikat. Kalau dipindahkan ke lahan pinjam pakai, kami khawatir suatu saat nanti bisa diambil lagi. Tidak ada jaminan keamanan bagi kami,” tegasnya.

Selain faktor hujan, warga juga menduga bahwa aktivitas pertambangan batu bara yang berada tidak jauh dari permukiman mereka turut memperparah pergerakan tanah.

“Tambang itu jaraknya cuma sekitar 300 meter dari rumah-rumah kami. Waktu jalannya digali, kelihatan ada air mengalir di bawah tanah, mungkin dari kolam bekas tambang. Tanah jadi makin labil. Bahkan tanpa hujan, tanah tetap bergerak,” papar Rosnawati.

Meski sudah lama hidup dalam ketidakpastian, warga masih menyimpan harapan besar agar pemerintah segera hadir memberikan solusi yang jelas.

“Kami tidak minta banyak, cuma ingin kejelasan. Kalau mau relokasi, relokasi yang jelas. Kami mau punya hak atas tanah, bukan sistem pinjam pakai. Kami sudah tinggal di sini sejak tahun 80-an, rumah ini hasil kerja keras,” kata Rosnawati, suaranya bergetar.

Sementara itu, bantuan dari berbagai pihak memang sempat diberikan, seperti paket sembako dan perlengkapan darurat. Namun warga menegaskan, bantuan tersebut sifatnya sementara, sementara yang paling dibutuhkan adalah kepastian relokasi dan hunian yang layak.

“Bantuan sembako ada, banyak yang peduli. Tapi yang paling penting itu kejelasan soal rumah. Kami tidak mungkin terus tinggal di tenda,” pungkasnya. (SIK)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id