Samarinda, Kaltimetam.id – Upah Minimum Provinsi (UMP) Kaltim 2023 naik sebesar 6,2 persen atau menjadi Rp 3.201.396,04 dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, menurut pengamat ekonomi, hal ini tak akan berpengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat.
“Memang pasca pandemi pemulihan (ekonomi) Kaltim termasuk yang cepat, tapi itu kan secara PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), itu kan makro. Nah, masalahnya kalau dibandingkan ada seribu orang kaya dan sejuta yang orang miskin dan dibagikan maka kelihatannya tetap besar kan, artinya dari sekian banyak orang Kaltim, yang menikmati kue hanya segelintir,” kata Hairil Anwar, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman.
Menurut pria yang santer mengamati perkembangan perekonomian Kaltim ini, UMP yang mengalami kenaikan sebenarnya sudah cukup untuk menjaga kestabilan perekonomian masyarakat. Sebab, kenaikan UMP melebihi angka inflasi nasional yang mencapai 5,5 persen pada tahun 2022. Sedangkan, untuk inflasi Kaltim sebesar 0,17 persen (month to month / mtm) periode Oktober dan 0,85 persen (mtm) pada September 2022.
“Kalau bicara murni kenaikan maka bisa dikatakan cukup karena melebihi inflasi, terutama di Kaltim. Hanya saja, masyarakat dan teman-teman buruh tidak menjadi lebih baik atau sejahtera tapi otomatis juga tidak akan jatuh miskin pada UMP saat ini,” terangnya.
Meski bisa dikatan cukup, menurut Hairil, pemerintah khususnya Pemprov Kaltim harus jeli terhadap rantai pasok yang ada, terutama untuk bahan pokok dan penting (bapokting). Sebab, Kaltim masih tergantung oleh daerah lain untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
“Kita memang ada menghasilkan beras tapi masih jauh dari kata cukup dan kita pasti kesulitan saat tiga bulan di awal tahun, harga bapokting sering melonjak tinggi. Untuk itu semoga pemerintah bisa lebih responsif untuk membantu perekonomian masyarakat,” imbuhnya.
Menurutnya, Kaltim yang saat ini masih mengandalkan pertumbuhan ekonomi dari sumber daya alam (SDA) harus segera melakukan transformasi ekonomi. Mengubah paradigma ekonomi yang tidak mengandalkan SDA, salah satunya di sektor pertanian. Sebab, dengan adanya perpindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Benua Etam, maka akan bertambahnya penduduk yang membutuhkan bapokting. Jika tidak dipersiapkan dengan matang, maka lonjakan harga bisa saja terjadi akibat banyaknya permintaan dan kurangnya cadangan bapokting.
“Harus transformasi berbasis non-renewable, bukan hanya batu bara saja yang kita punya, lahan juga masih luas. Tapi, memang harus diakui tidak semua tanah Kaltim subur, maka perlu riset. Pertanian bisa menjadi kekuatan ekonomi Kaltim yang baru. Ingat ya, IKN itu nanti ada perpindahan penduduk, jika ada 1,5 juta orang yang pindah maka ada kebutuhan yang bertambah. Jika tidak bisa andalkan produksi lokal maka akan lebih berat jika mengandalkan produksi dari luar daerah atau import dan bapokting itu bisa memicu inflasi juga,” tukasnya.
Tak jauh berbeda dengan Hairil, Koordinator Pokja 30 Buyung Marajo juga mengatakan walaupun UMP Kaltim mengalami kenaikan di atas angka inflasi, tetap tidak bisa menjamin kesejahteraan buruh. Sebab, sepanjang tahun 2022 lalu sejumlah kebutuhan pokok hingga Bahan Bakar Minyak (BBM) juga mengalami kenaikan harga.
“UMP naik tapi barang-barang pokok juga naik kan. Pemerintah kurang jeli melihat ini, dianggap dengan naiknya UMP sebesar enam persen daya beli dan kesejahteraan buruh terpenuhi, tapi tidak bisa sampai di sana saja, seharusnya diperhitungkan kenaikan BBM hingga minyak goreng. Naiknya UMP tapi sembako juga naik tetap tidak akan berpengaruh, karena kalau BBM naik otomatis yang lain ikut naik, ada efek domino,” ucap Buyung.
Buyung juga menyinggung soal anggaran SDA yang diterima Kaltim terhadap kesejahteraan masyarakat. Menurutnya pendapatan dari SDA di Kaltim hanya dinikmati segelintir orang. Dampak yang ditimbulkan tidak langsung mengarah ke perekonomian masyarakat.
“Anggaran yang diterima dari SDA dengan kesejahteraan masyarakat Kaltim itu kan jomplang. APBD kita (Kaltim) 60 persennya itu dinikmati siapa? ya, ASN,” singgungnya.
Kaltim yang masih mengandalkan sektor SDA juga mendapat sorotan Buyung. Menurutnya, pembangunan ekonimi dari sektor SDA merupakan pembangunan yang rapuh. Hal itu terlihat ketika masa pandemi dua tahun terakhir.
“Pembangunan dari SDA itu rapuh, ditandai dengan Covid-19 lalu. Batu bara tidak bisa dijadikan nasi kan, sawit juga tidak bisa dijadikan sayur kan, padahal yang dibutuhkan itu. Penyerapan tenaga kerja dari dua industri ekstraktif itu juga hanya non skill bandingkan jika kalau dikembangkan dengan sektor pariwisata. Transformasi ekonomi itu harus dilakukan. Harusnya pemerintah melihat berapa sumbangsih dari sektor batu bara jika dibandingkan dengan sektor pariwisata yang dikelola dengan baik,” tukasnya. (Dys/Dra)