Sikap Apatisme Gen Z Menjadi Ancaman Bagi Politik Menjelang Pilkada

Ilustrasi pemungutan suara. (Foto: Istimewa)

Samarinda, Kaltimetam.id – Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan datang, meningkatnya apatisme politik di kalangan Generasi Z menjadi sorotan utama. Meski diakui sebagai generasi yang melek teknologi dan terinformasi, tingkat keterlibatan mereka dalam proses politik formal, terutama Pilkada, dinilai rendah. Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 dan 2012, sudah mencapai usia pemilih, namun banyak dari mereka yang menunjukkan sikap apatis terhadap politik tradisional.

Survei dari Pusat Riset Politik Muda Indonesia mengungkap bahwa sekitar 40% dari Gen Z merasa tidak tertarik untuk ikut serta dalam Pilkada mendatang. Mereka menyebutkan alasan seperti ketidakpercayaan terhadap politisi, kebosanan terhadap sistem politik yang ada, hingga merasa bahwa suara mereka tidak akan membawa perubahan yang berarti.

Dalam wawancara dengan salah satu pemuda di Sungai Siring. Ramadhan, seorang pekerja berusia 22 tahun mengatakan, “Saya ngerasa politik itu cuma untuk orang-orang yang sudah punya posisi. Kita, sebagai masyarakat biasa, hanya dilibatkan saat pemilu, tapi setelah itu kita dilupakan. Janji-janji kampanye tidak pernah nyata. Jadi, buat apa saya repot-repot ikut Pilkada kalau tidak ada perubahan?”

Pernyataan Ramadhan mencerminkan perasaan ketidakpuasan yang juga dirasakan oleh banyak Gen Z lainnya. Dalam wawancara lain, Iqbal, seorang Pegawai Swalayan berusia 20 tahun, juga menyuarakan keprihatinan serupa. “Saya sih merasa pilkada cuma ajang rebutan kekuasaan, bukan untuk masyarakat. Apapun yang mereka janjikan, rasanya tidak banyak yang terealisasi. Jujur saya memilih siapa yang memberi ‘serangan fajar’ saja. Setidaknya saya merasakan sedikit keuntungannya.” ungkapnya dengan nada skeptis.

Fenomena ini sebagian besar dipengaruhi oleh perasaan ketidakpercayaan yang mendalam terhadap institusi politik. Banyak dari mereka menganggap Pilkada sebagai ajang politik yang jauh dari kehidupan mereka, dan hanya sedikit yang percaya bahwa program yang ditawarkan oleh calon kepala daerah benar-benar akan berdampak positif pada kehidupan sehari-hari.

Di sisi lain, beberapa pengamat politik menilai bahwa apatisme ini tidak sepenuhnya mencerminkan ketidakpedulian politik total. Menurut Dr. Budi Santoso, seorang pakar politik dari Universitas Indonesia, “Generasi Z mungkin tidak tertarik dengan politik formal seperti Pilkada, tetapi mereka aktif dalam bentuk lain, seperti kampanye sosial dan advokasi di dunia digital. Mereka punya cara sendiri untuk berpolitik, yang mungkin tidak konvensional.”

Meski demikian, sikap apatis ini tetap menjadi tantangan besar bagi pemerintah dan lembaga penyelenggara Pilkada. Tanpa partisipasi dari kelompok muda seperti Generasi Z, demokrasi lokal dapat kehilangan vitalitasnya. Oleh karena itu, calon kepala daerah dan partai politik perlu mencari cara yang lebih inovatif dan relevan untuk menarik minat generasi ini. Salah satu cara yang disarankan oleh para ahli adalah menggunakan platform digital yang interaktif dan mengedepankan isu-isu yang dekat dengan kehidupan Generasi Z, seperti lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan keadilan sosial.

Dengan jumlah yang signifikan dan pengaruh besar di dunia digital, Generasi Z berpotensi menjadi salah satu kekuatan politik terbesar di masa depan. Namun, jika apatisme ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin demokrasi Indonesia akan kehilangan suara penting yang bisa membawa perubahan nyata di tingkat lokal. (M. Raihan Susanto)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id