Samarinda, Kaltimetam.id – Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Wahab Sjahranie (RSUD AWS) Samarinda kembali menjadi perhatian publik. Kali ini, rumah sakit rujukan terbesar di Kalimantan Timur itu disorot karena dugaan pengusiran seorang pasien balita berusia 16 bulan yang tengah menjalani perawatan intensif akibat hidrosefalus, sebuah kondisi serius di mana terjadi penumpukan cairan di otak.
Balita bernama Radepa itu sudah menjalani tiga kali operasi sejak Februari 2025. Kondisinya kini dikabarkan memburuk, dengan risiko kebutaan dan kelumpuhan pada satu sisi tubuh. Namun di tengah situasi kritis ini, keluarga pasien justru mengaku sempat diminta membawa pulang anak mereka, meski kondisinya belum memungkinkan.
Kabar tersebut menyebar cepat dan memantik keprihatinan berbagai kalangan, termasuk legislatif daerah dan organisasi perlindungan anak.
Menanggapi pemberitaan yang berkembang, RSUD AWS melalui Kepala Instalasi Humas, dr. Arysia Andhina, memberikan klarifikasi. Ia menyatakan bahwa tidak pernah ada instruksi resmi dari manajemen rumah sakit untuk memulangkan pasien secara paksa.
“Kemungkinan besar ini terjadi karena miskomunikasi di antara petugas dan keluarga pasien. Mungkin pasien disarankan pulang karena tidak ada tindakan medis lanjutan untuk saat itu. Tapi semua keputusan seperti itu seharusnya melalui penjelasan yang menyeluruh dan tidak menimbulkan kesan memaksa,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa kondisi Radepa memang sangat kompleks. Pemasangan alat medis seperti shunt untuk mengalirkan cairan dari otak memang lazim dilakukan, namun memiliki tingkat kegagalan yang tidak bisa diabaikan, terutama pada anak-anak yang masih dalam tahap pertumbuhan cepat.
“Risiko kegagalan alat ini pada usia di bawah dua tahun sekitar 4 persen. Namun saat pasien mencapai usia 10 tahun, angka kegagalannya bisa meningkat hingga 98 persen. Ini bukan kesalahan prosedur, melainkan bagian dari keterbatasan medis yang telah diketahui melalui berbagai studi ilmiah,” jelasnya.
Terpisah, Anggota Komisi I DPRD Kota Samarinda, Adnan Faridhan, turun langsung ke RSUD AWS bersama Tim Redaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRac PPA). Ia menyatakan keterkejutannya atas kondisi pasien serta informasi yang disampaikan keluarga.
“Saya sudah melihat langsung kondisi anak itu. Menurut saya, sangat tidak memungkinkan untuk dipulangkan. Saya juga dengar kabar bahwa pihak keluarga sempat diberi pilihan: jika menolak tindakan medis, maka harus keluar dari rumah sakit pagi itu. Ini sangat mengganggu secara etika,” ujar Adnan.
Ia menambahkan bahwa pelayanan kesehatan publik tidak boleh hanya berlandaskan prosedur administratif, tetapi juga perlu mempertimbangkan sisi kemanusiaan dan psikologis keluarga pasien.
“Ini menyangkut nyawa seorang anak. Kita semua bertanggung jawab rumah sakit, pemerintah, dan legislatif. Jangan sampai karena miskomunikasi, ada nyawa yang terancam,” katanya.
Adnan menyampaikan bahwa pihaknya telah menjadwalkan pertemuan resmi dengan Direktur Utama RSUD AWS pada Rabu (23/4). Tujuannya adalah untuk mendapatkan klarifikasi menyeluruh dan mendorong rumah sakit agar membuka ruang komunikasi yang lebih transparan kepada keluarga pasien.
“Saya ingin kasus ini dijadikan pembelajaran. Tidak hanya untuk RSUD AWS, tapi juga rumah sakit lainnya. Keluarga pasien tidak boleh dibiarkan merasa bingung dan sendirian menghadapi situasi sulit,” pungkasnya. (SIK)
Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id