Samarinda, Kaltimetam.id – PPolemik seputar keberadaan Pasar Subuh di kawasan Jalan Yos Sudarso, Samarinda, kian mengemuka setelah upaya relokasi yang dilakukan pemerintah kembali memicu penolakan dari sebagian pedagang. Namun di balik konflik tersebut, terdapat fakta penting bahwa permintaan untuk menata ulang area tersebut sebenarnya telah berlangsung cukup lama, bahkan lebih dari satu dekade lalu.
Murdianto, selaku perwakilan dari pemilik lahan tempat aktivitas Pasar Subuh berlangsung, mengungkapkan bahwa desakan untuk memindahkan aktivitas perdagangan di kawasan itu bukanlah hal baru. Sejak 2014, pihaknya telah mengajukan permohonan resmi kepada Pemerintah Kota Samarinda agar area tersebut ditertibkan.
“Permintaan ini sudah kami sampaikan sejak lama. Bahkan dokumen pengajuan resmi dengan stempel asli kami lampirkan sejak tahun 2014. Karena tidak kunjung ditindaklanjuti, kami kembali menyampaikan permintaan itu pada tahun lalu,” ujar Murdianto, Jumat (9/5/2025).
Ia menuturkan bahwa keluarganya merupakan satu-satunya yang masih bermukim di kawasan tersebut, sehingga merasa paling terdampak dengan kondisi yang ditimbulkan dari aktivitas pasar yang berlangsung sejak dini hari. Ia mengeluhkan kondisi lingkungan sekitar yang dianggap tidak layak dan mengganggu ketenangan warga.
“Lingkungan menjadi kotor, bau tak sedap tak bisa dihindari. Keluarga kami yang tinggal di sini sangat terdampak,” tambahnya.
Terkait hal tersebut, Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Sekretariat Daerah Kota Samarinda, Marnabas Patiroy, membenarkan bahwa pengajuan dari pemilik lahan memang sudah diterima pemerintah sejak lama. Namun, menurutnya, pada saat itu belum tersedia lokasi alternatif yang memadai untuk menampung para pedagang.
“Permohonan dari pemilik lahan sudah lama kami terima, tapi karena waktu itu belum ada tempat yang bisa disiapkan, maka kami tahan dulu. Baru kemudian, setelah ada lokasi yang layak, proses relokasi kami dorong kembali,” jelas Marnabas.
Ia juga mengungkapkan bahwa dalam prosesnya, Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda terus berupaya menjembatani keinginan para pedagang dengan situasi di lapangan. Salah satunya dengan memberikan toleransi, termasuk tidak memaksa relokasi saat momen hari besar keagamaan.
Namun, dinamika internal di kalangan pedagang turut memengaruhi jalannya kebijakan ini. Menurut Marnabas, penolakan baru muncul setelah adanya pergantian kepengurusan di internal paguyuban.
“Dulu tidak ada penolakan. Dari sekitar 20 pedagang daging, hanya satu yang belum pindah. Secara keseluruhan, sudah 32 hingga 33 pedagang yang terdata di lokasi baru,” ungkapnya.
Ia menegaskan, kebijakan relokasi bukan sekadar pemindahan aktivitas ekonomi, melainkan bagian dari upaya penataan kota yang lebih luas. Pemerintah ingin memastikan kawasan perkotaan tumbuh dengan tertib, fungsional, dan mampu menunjang dinamika ekonomi daerah secara berkelanjutan.
“Kota Samarinda memiliki visi sebagai pusat jasa dan perdagangan. Maka, keteraturan ruang publik, termasuk pasar, menjadi hal yang tak bisa ditawar,” tegasnya. (REE)
Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id