Dituding Hambat Eksekusi Putusan MA, Kepsek SMA 10 Dicopot

SMAN 10 Samarinda. (Foto: Istimewa)

Kaltim, Kaltimetam.id – Polemik penonaktifan Kepala Sekolah SMA Negeri 10 Samarinda, Fathur Rachim, akhirnya mendapat penjelasan resmi dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kalimantan Timur.

Pelaksana tugas (Plt) Kepala Disdikbud Kaltim, Armin, menegaskan bahwa keputusan itu diambil bukan semata karena persoalan administratif, tetapi merupakan bagian dari upaya menjalankan putusan hukum yang sudah final dan mengikat.

“Ini adalah konsekuensi dari putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah berkekuatan hukum tetap. Jadi, bukan sekadar kebijakan saya pribadi, tetapi merupakan instruksi langsung dari pimpinan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur,” kata Armin.

Putusan MA yang dimaksud mengatur agar pengelolaan SMA Negeri 10 dikembalikan kepada Yayasan Melati dan dipindahkan ke lokasi semula di kawasan Jalan HAMM Rifadin, Samarinda Seberang. Keputusan tersebut harus dieksekusi sebagai bentuk penghormatan terhadap sistem hukum di Indonesia.

Namun, menurut Armin, pelaksanaan kebijakan tersebut menemui hambatan serius dari internal sekolah. Ia menyebut kepala sekolah justru bersikap kontra terhadap keputusan yang seharusnya didukung.

“Alih-alih melaksanakan, justru ada upaya menghambat,” katanya.

Lebih lanjut, Armin menjelaskan bahwa pihaknya menerima laporan bahwa kepala sekolah aktif mencari dukungan eksternal, termasuk ke instansi militer seperti Kodam dan Korem, agar proses pemindahan SMA 10 dapat dihentikan. Informasi ini bahkan disampaikan langsung oleh Wakil Gubernur dalam rapat pimpinan yang digelar Pemprov Kaltim beberapa waktu lalu.

“Ini bukan hanya persoalan administrasi, tapi sudah masuk ke ranah pelanggaran terhadap kewajiban pelaksanaan putusan hukum. Pemerintah tidak boleh diam ketika aturan tidak dijalankan,” tegasnya.

Selain itu, Armin mengungkapkan adanya persoalan dalam penyampaian informasi kepada publik. Surat resmi dari Disdikbud yang berisi pemberitahuan pemindahan sekolah ternyata tidak pernah disampaikan kepada orang tua siswa. Fakta ini diakui langsung oleh beberapa wakil kepala sekolah saat dikonfirmasi oleh pihak dinas.

“Bayangkan, orang tua siswa tidak pernah menerima surat itu. Tidak ada sosialisasi, tidak ada klarifikasi. Akibatnya, mereka menjadi bingung, resah, dan muncul penolakan di masyarakat,” ungkapnya.

Ia menilai, sikap tersebut merupakan bentuk pembangkangan terhadap sistem dan perintah yang sah. Karena itu, penonaktifan dilakukan sebagai langkah tegas untuk menjamin kelancaran pelaksanaan putusan hukum, sekaligus menjaga kewibawaan pemerintah daerah.

Armin juga menjawab pertanyaan seputar posisinya sebagai Plt Kepala Dinas. Meski belum definitif, ia menegaskan bahwa seluruh keputusan yang diambil merupakan hasil koordinasi dengan pimpinan daerah dan dijalankan atas dasar perintah resmi.

“Saya hanya melaksanakan mandat dari atasan. Ini bukan langkah sepihak, tapi tindakan institusional. Semua ini sudah dibahas dalam forum-forum resmi pemerintahan,” ujarnya.

Pernyataan Armin sekaligus menjadi klarifikasi terhadap pernyataan Fathur Rachim sebelumnya yang menyebut bahwa penonaktifan dirinya tidak sah. Menurut Armin, justru ketidakpatuhan terhadap keputusan MA yang menjadi dasar utama pencopotan tersebut.

“Kalau kita bicara tentang negara hukum, maka semua pihak harus taat. Gubernur, wakil gubernur, bahkan saya pun tunduk pada putusan hukum. Tidak ada pengecualian,” tegasnya.

Disdikbud berharap dengan langkah ini, proses pemindahan dan pengembalian SMA Negeri 10 kepada Yayasan Melati dapat berjalan sesuai rencana. Ia juga mengajak semua pihak, termasuk orang tua, guru, dan siswa, untuk memahami bahwa langkah ini bukan bentuk kriminalisasi atau tekanan, melainkan bagian dari proses hukum yang sah dan harus dihormati.

“Tujuan kami adalah agar pendidikan tetap berjalan baik, dalam koridor hukum dan tata kelola yang benar,” pungkasnya. (SIK)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id