Penggusuran Pasar Subuh Dinilai Represif, DPRD Samarinda Soroti Tindakan Aparat

RDP dengan Pedagang Pasar Subuh Kota Samarinda. (Foto: Siko/Kaltimetam.id)

Samarinda, Kaltimetam.id – Tindakan penggusuran Pasar Subuh di Jalan Yos Sudarso, Kota Samarinda, Jumat (9/5/2025), menuai kritik tajam dari berbagai pihak, terutama anggota legislatif. Aksi penertiban yang melibatkan ratusan personel gabungan dari Kepolisian, TNI, dan Satpol PP dinilai berlebihan dan mencederai asas keadilan serta prinsip kemanusiaan dalam proses relokasi.

hadir di lokasi, penertiban berlangsung ricuh. Aparat disebut-sebut melakukan tindakan fisik terhadap warga dan pedagang yang bertahan di lokasi. Beberapa laporan menyebut adanya pemukulan, pemitingan, hingga penyeretan paksa terhadap warga sipil yang mencoba bertahan atau sekadar menyaksikan proses penggusuran.

Salah satu yang turut hadir di lokasi adalah anggota DPRD Kota Samarinda, Ahmad Vananzda, yang menyaksikan langsung ketegangan antara aparat dan warga. Politikus PDI Perjuangan itu mengaku prihatin dan kecewa atas cara yang ditempuh pemerintah kota dalam menertibkan pasar yang sudah puluhan tahun menjadi pusat aktivitas warga tersebut.

“Saya berada di tengah masyarakat, menyaksikan langsung bagaimana tindakan represif dilakukan. Kami sudah sampaikan ke Satpol PP dalam Rapat Dengar Pendapat bahwa ini bukan cara yang patut dilakukan oleh pemerintah yang mengedepankan pendekatan humanis,” ujarnya.

hadir di lokasi, penertiban berlangsung ricuh. Aparat disebut-sebut melakukan tindakan fisik terhadap warga dan pedagang yang bertahan di lokasi. Beberapa laporan menyebut adanya pemukulan, pemitingan, hingga penyeretan paksa terhadap warga sipil yang mencoba bertahan atau sekadar menyaksikan proses penggusuran.

Salah satu yang turut hadir di lokasi adalah anggota DPRD Kota Samarinda, Ahmad Vananzda, yang menyaksikan langsung ketegangan antara aparat dan warga. Politikus PDI Perjuangan itu mengaku prihatin dan kecewa atas cara yang ditempuh pemerintah kota dalam menertibkan pasar yang sudah puluhan tahun menjadi pusat aktivitas warga tersebut.

“Saya berada di tengah masyarakat, menyaksikan langsung bagaimana tindakan represif dilakukan. Kami sudah sampaikan ke Satpol PP dalam Rapat Dengar Pendapat bahwa ini bukan cara yang patut dilakukan oleh pemerintah yang mengedepankan pendekatan humanis,” katanya.

Sementara itu, Asisten II Sekretariat Daerah Kota Samarinda, Marnabas, menyatakan bahwa proses komunikasi dengan pedagang sudah dilakukan jauh hari sebelumnya. Ia mengklaim bahwa sosialisasi telah berlangsung selama satu setengah tahun dan mayoritas pedagang telah menyetujui relokasi.

“Memang tinggal beberapa pedagang saja yang bertahan. Tapi kami sudah menjalankan tahapan yang diperlukan, mulai dari pemberitahuan hingga penyediaan tempat baru di Pasar Dayak,” jelas Marnabas saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat bersama DPRD dan perwakilan pedagang.

Namun, penjelasan tersebut tidak lantas meredam kritik. Menurut Vananzda, peristiwa ini mencerminkan lemahnya komunikasi dua arah antara pemerintah dan warga yang terdampak kebijakan. Ia juga menilai ada kekeliruan dalam menempatkan tugas Satpol PP dalam penertiban.

“Tugas mereka adalah membongkar lapak, bukan memukul atau memiting warga. Ini harus dievaluasi secara menyeluruh. Jangan sampai tindakan aparat justru menambah luka sosial di masyarakat,” tegasnya.

Pascainsiden, DPRD Kota Samarinda segera menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang mempertemukan berbagai pihak, termasuk Organisasi Perangkat Daerah (OPD), pedagang, mahasiswa, dan tokoh masyarakat. Dalam rapat tersebut, berbagai aspirasi dan keluhan disampaikan secara terbuka.

Vananzda menilai bahwa solusi yang ditawarkan pemerintah belum sepenuhnya menjawab keresahan warga. Ia menyarankan agar pemerintah membuka ruang dialog yang lebih intensif serta menjamin hak-hak warga terdampak.

“Pasar Subuh bukan sekadar tempat jual beli, tapi bagian dari sejarah dan denyut ekonomi rakyat kecil. Sekali dibongkar, sulit untuk mengembalikannya seperti semula,” ucapnya.

Terakhir, Vananzda meminta agar Pemerintah Kota Samarinda lebih bijak dan manusiawi dalam menjalankan kebijakan, khususnya yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ia berharap insiden seperti ini tidak kembali terulang di masa mendatang.

“Pembangunan dan penataan kota memang penting, tapi harus selaras dengan rasa keadilan dan kemanusiaan. Warga bukan objek pembangunan, mereka adalah subjek yang harus dihormati,” tutupnya. (Adv/DPRDSamarinda/SIK)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id