Pemkot Samarinda Minta Transparansi BPJS, Tagihan Berbasis Perkiraan Dianggap Tidak Adil

Wali Kota Samarinda, Andi Harun. (Foto: Siko/Kaltimetam.id)

Samarinda, Kaltimetam.id – Wali Kota Samarinda, Andi Harun, menyoroti persoalan serius terkait sistem penagihan iuran BPJS Kesehatan yang dinilai kurang transparan dan membebani keuangan daerah. Menurutnya, BPJS Kesehatan menggunakan metode estimasi kelahiran bayi untuk menentukan tagihan iuran tanpa melibatkan pemerintah daerah dalam proses perhitungan.

Hal ini membuat Pemkot Samarinda dan daerah lainnya tiba-tiba memiliki utang besar yang tidak direncanakan sebelumnya.

“Setiap bayi yang lahir di Samarinda langsung diestimasikan oleh BPJS di awal tahun. Mereka memperkirakan misalnya seribu bayi akan lahir, lalu langsung dikalikan dengan besaran iuran per bayi. Padahal bayi-bayi ini belum lahir, dan hitungannya hanya berdasarkan perkiraan, bukan data faktual,” ujarnya.

Andi Harun menyebut metode ini sangat memberatkan daerah, terutama bagi pemerintah dengan kapasitas fiskal yang terbatas. Untuk itu, ia berencana membawa permasalahan ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Koordinasi dan Supervisi Pencegahan (Korsupgah) Wilayah IV untuk mendapatkan arahan dan solusi yang lebih tepat.

Lebih lanjut, Andi Harun menjelaskan bahwa BPJS menggunakan data estimasi kelahiran bayi berdasarkan angka tahun sebelumnya, tanpa memverifikasi kondisi riil di lapangan. Sistem ini tidak hanya menimbulkan utang bagi pemerintah daerah, tetapi juga mengganggu perencanaan anggaran yang telah ditetapkan.

“Tahun 2024 saja, Samarinda memiliki utang sebesar Rp17 miliar kepada BPJS Kesehatan akibat sistem ini. Kami terpaksa menunda pembayarannya hingga tahun 2025 karena tidak ada alokasi dana di tahun 2024. Sekarang, Rp17 miliar itu sudah kami anggarkan dalam APBD 2025, tapi masalah metode perhitungan ini harus dibenahi,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa estimasi kelahiran bayi oleh BPJS sering kali tidak akurat dan merugikan pemerintah daerah. Menurut Andi Harun, BPJS seharusnya menunggu data riil bayi yang lahir di akhir tahun sebelum menentukan jumlah tagihan kepada pemerintah daerah.

“Jika tagihan berbasis data riil, tentu kami bisa menerima. Tapi dengan sistem estimasi seperti ini, kami seperti dipaksa menanggung utang yang tidak pasti. Ini tidak adil bagi pemerintah daerah,” katanya.

Masalah semakin rumit karena jika pemerintah daerah tidak membayar tagihan tepat waktu, BPJS memiliki wewenang untuk melaporkannya ke Kementerian Keuangan atau Kementerian Dalam Negeri. Laporan tersebut dapat berujung pada pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU) daerah.

“BPJS kerap mengancam jika tagihan tidak dibayar. Mereka bilang DAU kita bisa dipotong langsung oleh pemerintah pusat. Ini cara yang menurut saya tidak elegan dan tidak memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk berdiskusi atau mengklarifikasi,” ungkap Andi Harun.

Ia menilai pendekatan seperti ini tidak hanya merugikan daerah, tetapi juga mengganggu proses pembangunan yang sedang berjalan.

“Tagihan mendadak seperti ini mengacaukan perencanaan pembangunan. Kami tidak bisa fokus pada prioritas pembangunan karena tiba-tiba ada beban utang dari BPJS,” tambahnya.

Selain BPJS Kesehatan, Wali Kota Samarinda juga menyoroti sistem BPJS Ketenagakerjaan yang dinilai memberatkan daerah. Salah satu masalah yang muncul adalah kewajiban pembayaran BPJS Ketenagakerjaan sebesar 5 persen dari total kesejahteraan pegawai, termasuk gaji, tunjangan, dan TPP (Tunjangan Perbaikan Penghasilan).

“Setiap kali ada peningkatan kesejahteraan pegawai, daerah otomatis harus membayar tambahan iuran ke BPJS Ketenagakerjaan. Kalau daerah dengan APBD besar mungkin tidak masalah, tapi bagaimana dengan daerah seperti kita yang APBD-nya terbatas? Ini sangat membebani fiskal daerah,” jelas Andi Harun.

Menurutnya, sistem ini perlu kajian mendalam agar tidak menghambat upaya daerah dalam meningkatkan kesejahteraan pegawai.

“Kami ingin meningkatkan kesejahteraan ASN, tapi dengan kewajiban BPJS ini, ruang fiskal kami menjadi sangat sempit,” imbuhnya.

Sebagai langkah konkret, Pemkot Samarinda akan berkonsultasi dengan KPK, BPK, dan Kementerian Dalam Negeri untuk mencari solusi atas permasalahan ini. Menurut Andi Harun, sistem BPJS harus dievaluasi agar lebih transparan dan adil bagi semua pihak.

“Kami tidak ingin berspekulasi atau berdebat tanpa ujung. Lebih baik kami menggunakan saluran resmi untuk mencari solusi. Kami berharap KPK, BPK, dan Kementerian Dalam Negeri dapat memberikan arahan yang jelas agar sistem ini bisa diperbaiki,” katanya.

Ia juga mengajak BPJS untuk lebih terbuka dan melibatkan pemerintah daerah dalam proses perhitungan estimasi kelahiran bayi maupun iuran lainnya.

“Harapan kami sederhana, BPJS menggunakan data riil, bukan perkiraan. Jika tagihan muncul di akhir tahun berdasarkan jumlah bayi yang benar-benar lahir, tentu itu lebih adil. Jangan sampai kami merasa seperti dipaksakan menanggung sesuatu yang belum pasti,” tutupnya. (SIK)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id