Samarinda, Kaltimetam.id – Di balik berbagai kemajuan yang telah dicapai dalam sektor pendidikan, Kota Samarinda masih dihadapkan pada tantangan klasik yang belum terselesaikan: ketimpangan antara sekolah di pusat kota dengan sekolah-sekolah yang berada di kawasan pinggiran. Kondisi ini menciptakan jarak yang nyata dalam akses dan kualitas layanan pendidikan antarwilayah, yang berpotensi memperlebar kesenjangan sosial di masa depan.
Sejumlah wilayah seperti Palaran, Samarinda Seberang, dan kawasan perbatasan lainnya menjadi contoh nyata ketimpangan ini. Sekolah-sekolah di wilayah tersebut masih kekurangan guru, fasilitas belajar yang terbatas, dan infrastruktur sekolah yang tidak memadai.
Anggota Komisi IV DPRD Kota Samarinda, Ismail Latisi, menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi tersebut. Ia menilai bahwa kekurangan guru merupakan persoalan mendesak yang harus segera diatasi. Terlebih, moratorium pengangkatan tenaga honorer yang diberlakukan oleh pemerintah pusat membuat pemerintah daerah tidak memiliki keleluasaan untuk mengisi kekosongan tenaga pendidik yang ditinggalkan oleh guru-guru yang pensiun setiap tahun.
“Kami menerima laporan bahwa di beberapa sekolah hanya ada dua sampai tiga guru aktif untuk menangani seluruh kelas. Ini tentu mengganggu proses pembelajaran dan sangat tidak ideal. Anak-anak kita di pinggiran berhak mendapatkan kualitas pendidikan yang sama seperti di kota,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ismail menyebut bahwa sistem zonasi yang diterapkan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) turut memperjelas persoalan ini. Zonasi memang dimaksudkan untuk mendekatkan akses pendidikan kepada domisili siswa, namun bila tidak dibarengi dengan pemerataan mutu dan sarana sekolah, justru akan menciptakan ketidakadilan baru.
“Bagaimana mungkin kita minta anak belajar di sekolah terdekat dari rumahnya, jika sekolah tersebut kekurangan guru, kekurangan buku, bahkan ada ruang kelas yang nyaris roboh? Ini harus menjadi perhatian serius,” tegasnya.
Dari sisi regulasi, DPRD Kota Samarinda mendorong agar pemerintah pusat memberi kelonggaran kepada daerah untuk mengusulkan kebutuhan guru secara lebih fleksibel, terutama melalui skema PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Menurut Ismail, formasi PPPK yang ditetapkan pusat selama ini masih belum memadai untuk menjawab kebutuhan guru di seluruh wilayah kota.
Selain itu, Ismail juga menyarankan agar Pemerintah Kota Samarinda membuat kebijakan khusus berupa insentif bagi guru-guru yang bersedia ditempatkan di daerah pinggiran. Langkah ini diyakini dapat mempercepat distribusi tenaga pengajar secara merata.
“Pendidikan adalah tanggung jawab kita bersama. Tidak cukup hanya membangun gedung atau menyediakan buku, tapi juga memastikan ada guru yang hadir, ada motivasi mengajar, dan ada dukungan yang cukup dari pemerintah,” tutupnya. (Adv/DPRDSamarinda/SIK)
Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id