Balikpapan, Kaltimetam.id – Kasus kekerasan perempuan dan anak di Kaltim kian mengkhawatirkan. Datanya pun membuat Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) cukup khawatir, dan terus berupaya menekan terjadinya kasus serupa.
Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kalimantan Timur, Noryani Sorayalita mengatakan, menurut data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) kasus kekerasan di Benua Etam pada 2021 sebanyak 551 kasus. Sedangkan pada 2022 kasus kekerasan di Kalimantan Timur meningkat sebanyak 945 kasus.
Melihat data-data tersebut perlu suatu upaya, yaitu percepatan penurunan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. Terutama melalui pencegahan dan penangganan korban kekerasan secara terpadu.
“Saat ini total korban kekerasan adalah 1.012 korban. Terdiri dari 538 Korban Anak (53,2 persen) dan 474 Korban Dewasa (46,8 persen). Kasus terbanyak berada di Kota Samarinda sebanyak 458 kasus,” kata Soraya pada acara Rapat Koordinasi Daerah Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Rakorda PPPA) se-Kalimantan Timur Tahun 2023 berlangsung di Hotel Grand Jatra Balikpapan, Rabu (15/2/2023).
Ia menambahkan, diperlukan langkah pencegahan, dan penanganan serta memberikan rekomendasi kebijakan bagi para pemangku kebijakan. Terutama di tingkat kabupaten/kota, yang hadir pada acara tersebut agar dapat memperoleh strategi percepatan penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak, untuk diterapkan di daerah masing-masing.
Korban Sering Merasa Ragu untuk Melapor
Perempuan dan anak merupakan kelompok rentan terhadap kekerasan baik fisik maupun psikis. Pemerintah Provinsi kalimantan Timur terus berupaya melakukan langkah-langkah komprehensif malalui keterlibatan seluruh unsur baik pemerintah, masyarakat, dunia usaha, media dan pemangku kepentingan lainnya.
Gubernur Kalimantan Timur, Isran Noor melalui Staf Ahli Bidang Sumber Daya, dan Kesejahteraan Rakyat, Christianus Benny mengatakan pemerintah berkomitmen kuat melindungi perempuan dan anak. Komitmen ini diwujudkan dalam penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan.
Namun, perempuan dan anak korban kekerasan sering merasa ragu, atau takut dalam melaporkan kekerasan yang dialaminya. Kendala lainnya, seperti sulitnya akses dalam mencapai layanan dan kurangnya informasi tentang hak-hak yang dimiliki sehingga perlu dilakukan pendampingan.
“Perempuan dan anak korban kekerasan harus mendapatkan akses yang mudah untuk menjangkau pusat layanan pengaduan sehingga dapat tertangani dengan cepat,” ujar Benny.
Ia melanjutkan, lembaga yang menangani perlindungan perempuan dan anak, masih sangat kurang. Terutama di daerah yang jauh dari pusat kota. Inilah pentingnya kehadiran Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sebagai pusat layanan khusus dan rujukan, yang bermitra dengan pelayanan lainnya baik yang tersedia pada Instansi pemerintah maupun masyarakat. (RTA)
Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id
Baca berita terkait Balikpapan: Pembukaan Jalan MT Haryono Balikpapan Molor, DPRD Minta DPU Harus Tegas