Samarinda, Kaltimetam.id – Kepolisian Resor Kota (Polresta) Samarinda berhasil membongkar jaringan besar peredaran narkotika antarprovinsi dengan barang bukti mencapai 7,1 kilogram sabu-sabu. Yang mengejutkan, jaringan ini dikendalikan oleh dua narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Parepare, Sulawesi Selatan.
Dalam pengungkapan tersebut, empat orang pelaku ditangkap, sementara dua lainnya masih dalam pengejaran. Polisi juga menyita 994 butir ekstasi, 1.000 butir pil LL, uang tunai Rp 4,5 juta, 18 unit ponsel, serta dua unit sepeda motor yang digunakan untuk aktivitas peredaran narkotika.
Kasus ini bermula dari laporan warga yang mencurigai adanya transaksi sabu di sebuah guest house di kawasan Samarinda. Menindaklanjuti laporan tersebut, tim Satresnarkoba Polresta Samarinda segera melakukan penyelidikan mendalam.
Dari hasil pengintaian, polisi menemukan jejak komunikasi yang mengarah pada peredaran sabu berskala besar. Setelah dilakukan pelacakan jaringan, terungkap bahwa para pelaku bukan hanya beroperasi di Samarinda, tetapi juga memiliki hubungan langsung dengan napi di Lapas Parepare, Sulawesi Selatan.
“Kami mendapat informasi adanya transaksi narkotika dalam jumlah besar. Setelah diselidiki, ternyata seluruh kegiatan dikendalikan dari dalam Lapas Parepare oleh dua narapidana yang masih aktif menjalani hukuman,” ungkap Kapolresta Samarinda Kombes Pol Hendri Umar.
Dua narapidana di Lapas Parepare berinisial H dan A diketahui sebagai pengendali utama jaringan ini. Keduanya memberikan perintah melalui sambungan telepon kepada kaki tangan mereka di luar lapas untuk mengedarkan sabu ke wilayah Kalimantan Timur.
Awalnya, H dan A memerintahkan seorang pria asal Makassar berinisial AR untuk mengambil 10 kilogram sabu di Samarinda. Namun karena kondisi kesehatan, AR tidak dapat melaksanakan tugasnya. Ia kemudian menunjuk dua perempuan asal Makassar, AL dan E, untuk menggantikan peran tersebut.
AL, yang diketahui sedang hamil, kemudian berangkat bersama E menuju Samarinda. Mereka berdua tiba di kota itu pada 26 Oktober 2025, dan berkoordinasi dengan seorang perempuan warga lokal berinisial ER untuk mengambil barang haram tersebut di sebuah guest house berinisial M.
Setelah pengambilan, sabu itu dibawa ke rumah seorang perempuan lain, N, yang bertugas menyimpan dan memecahnya menjadi beberapa paket.
Dari hasil pemeriksaan, sabu seberat 10 kilogram tersebut kemudian dibagi menjadi dua bagian yaitu 7 kilogram disimpan oleh N, sedangkan 3 kilogram dikembalikan ke guest house untuk diambil oleh kurir lain yang juga merupakan anggota jaringan tersebut.
Namun, pergerakan para pelaku sudah dalam pantauan tim Satresnarkoba. Polisi kemudian melakukan operasi penangkapan beruntun. Tersangka pertama yang ditangkap adalah AL, ER, dan AR di kawasan Jalan DI Panjaitan, Samarinda.
Setelah diinterogasi, ketiganya mengaku masih ada sisa sabu yang disimpan oleh N. Petugas kemudian bergerak ke rumah N yang berada di kawasan Lambung Mangkurat. Di sana, polisi menemukan 6,1 kilogram sabu yang disembunyikan di rumah pacar N berinisial D, yang kini masih dalam pengejaran.
“Total ada 7,1 kilogram sabu yang berhasil kami amankan. Kami juga menyita ratusan butir ekstasi, pil LL, serta alat komunikasi yang digunakan untuk koordinasi antaranggota jaringan,” jelasnya.
Hasil penyelidikan digital forensik membuktikan bahwa semua instruksi dalam jaringan ini berasal dari dua narapidana di Lapas Parepare. Mereka memanfaatkan akses komunikasi ilegal di dalam penjara untuk mengatur peredaran narkoba lintas provinsi, memerintahkan kurir, dan menentukan titik pengiriman.
“Mereka (dua napi) mengatur semuanya dari balik jeruji. Kami sedang berkoordinasi dengan pihak Kemenkumham untuk menelusuri bagaimana alat komunikasi bisa masuk ke dalam lapas,” katanya.
Polisi menduga jaringan ini merupakan bagian dari sindikat besar yang sudah beberapa kali mengedarkan sabu dari Sulawesi ke Kalimantan melalui jalur laut. Tujuan akhir pengiriman barang haram ini adalah Makassar, dengan rute Samarinda–Balikpapan–Sulawesi Selatan.
Salah satu pelaku, AL, yang diketahui sedang hamil, mengaku baru pertama kali menjalankan perintah dari jaringan tersebut. Ia tergiur dengan iming-iming uang besar. Kasus ini kembali menyoroti modus baru jaringan narkoba yang kini kerap memanfaatkan perempuan dan orang yang dianggap tidak mencurigakan untuk mengelabui aparat.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 114 ayat (2) subsider Pasal 112 ayat (2) juncto Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dengan ancaman pidana mati, penjara seumur hidup, atau kurungan minimal enam tahun dan maksimal dua puluh tahun.
“Kami akan terus kembangkan kasus ini, termasuk menelusuri aliran dana serta pihak-pihak yang membantu jaringan tersebut,” pungkasnya. (SIK)
Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id
