Warga Tanah Merah Keluhkan Banjir Lumpur, Diduga Akibat Aktivitas Tambang Batu Bara

Banjir bercampur dengan lumpur dikawasan Tanah Merah Samarinda Utara. (Foto: Siko/Kaltimetam.id)

Samarinda, Kaltimetam.id – Suara hujan yang dulu membawa kesejukan, kini menjadi isyarat petaka bagi warga Kelurahan Tanah Merah, Kecamatan Samarinda Utara. Setiap kali langit menumpahkan airnya, banjir lumpur datang tanpa ampun, melumat kebun, pekarangan, bahkan rumah warga. Lahan yang dulu hijau oleh tanaman kini berubah menjadi lautan lumpur kecokelatan.

Hasan Binta (53), seorang petani pisang, hanya bisa menatap kosong lahan miliknya yang kini tak ubahnya seperti kubangan tambang. Sejak Februari 2024, ia menanam sekitar 250 pohon pisang di lahan seluas hampir satu hektare. Awalnya, daun-daun pisang itu tumbuh hijau subur. Namun, di pertengahan 2025, bencana datang menghantam.

“Awalnya tumbuh subur, tapi tiba-tiba banjir lumpur datang. Semua lahan terendam. Dalam hitungan hari, batang pisang mulai membusuk, daun menguning, lalu mati,” katanya.

Selain kebun pisang, ratusan pohon jati dan gaharu yang ditanamnya sejak beberapa tahun lalu pun ikut rusak.

“Air dari atas bawa lumpur. Tidak langsung mati, tapi lama-lama membusuk. Setiap kali hujan, lumpur makin tebal,” ujarnya.

Hasan menduga kuat, lumpur itu berasal dari wilayah bekas tambang batu bara di bagian atas kampungnya, berjarak sekitar 400 hingga 500 meter dari lahan. Tambang itu, kata dia, sudah tidak lagi beroperasi beberapa bulan terakhir. Namun, sejak penutupan aktivitas itu, saluran air dari area bekas galian tidak terkelola dengan baik.

“Diduga dari limbah tambang di atas, yang bawa lumpur. Ada tiga lahan yang kena: gaharu, jati, dan pisang. Semua rusak,” jelasnya.

Ia berharap, perusahaan tambang yang pernah beroperasi di kawasan itu dapat bertanggung jawab.

“Kami nggak minta macam-macam. Cuma minta ganti rugi tanaman yang mati. Itu hasil kerja kami berbulan-bulan,” katanya.

Terpisah, Mukri (66), warga lain yang tinggal tidak jauh dari lahan pertanian Hasan. Ia tinggal di rumah sederhana dua pintu satu untuk tempat tinggal, satu lagi disewakan untuk tambahan penghasilan. Namun, sejak banjir lumpur datang, rumah itu tak lagi bisa ditempati.

“Dulu kalau banjir cuma air, cepat surut. Sekarang berlumpur. Masuk sampai ke dalam rumah. Lantainya kotor terus, dindingnya lembap,” tuturnya.

Kini Mukri yang sedang sakit dan sulit berjalan terpaksa mengungsi ke rumah anaknya.

“Istri saya sudah meninggal dua tahun lalu. Sekarang tinggal sendiri, sakit pula. Rumah yang dulu jadi tempat istirahat malah rusak,” katanya.

Ironisnya, menurut Mukri, banjir lumpur justru makin sering terjadi setelah tambang berhenti beroperasi sekitar empat hingga lima bulan lalu.

“Setelah tambang tutup, malah muncul banjir lumpur. Mungkin karena tanggulnya jebol atau saluran air nggak dijaga lagi,” ujarnya.

Hal senada juga di sampai oleh, Murni (53) bahwa kalau hujan deras berarti perjuangan berat. Suaminya lumpuh akibat kecelakaan, dan setiap hujan turun, ia harus mengevakuasi suaminya ke rumah tetangga untuk menghindari air yang masuk ke dalam rumah.

“Kalau hujan deras, saya ungsikan suami. Pernah banjir tinggi banget, dia sampai nangis karena nggak bisa apa-apa,” tuturnya.

Ia mengaku sudah tinggal di rumah itu lebih dari sepuluh tahun, tapi baru setahun terakhir banjir lumpur datang hampir setiap minggu.

“Dalam seminggu bisa empat sampai lima kali bersihin lumpur. Semua perabotan rusak, nggak ada yang bisa dipakai lagi,” katanya.

Murni sudah dua kali melapor ke kelurahan, namun belum mendapat respons berarti.

“Katanya mau ditinjau dulu, tapi sampai sekarang nggak ada kabar. Saya cuma minta ada tindakan, jangan dibiarkan kayak gini,” pungkasnya. (SIK)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id

Exit mobile version