Kepala BGP Kaltim Soroti Ketimpangan Tunjangan Guru dan Minimnya Minat Jadi Kepala Sekolah

FGD yang berlokasi di Jalan Basuki Rahmat Kota Samarinda tepatnya di Kantor Balai Guru Penggerak Kaltim. (Foto: Siko/Kaltimetam.id)

Samarinda, Kaltimetam.id – Persoalan kesejahteraan guru, ketimpangan tunjangan antardaerah, hingga minimnya minat menjadi kepala sekolah kembali menjadi sorotan tajam dalam evaluasi sektor pendidikan di Kalimantan Timur.

Kepala Balai Guru Penggerak (BGP) Kaltim, Wiwik Setiawati, menilai berbagai persoalan yang selama ini muncul di lapangan harus menjadi perhatian utama dalam penyempurnaan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas).

Ia memaparkan bahwa rendahnya tunjangan kepala sekolah turut memperparah sulitnya regenerasi pimpinan sekolah. Menurutnya, banyak guru enggan mengisi posisi tersebut karena beban tanggung jawab yang besar tidak didukung penghargaan finansial yang memadai.

“Menjadi kepala sekolah bukan sekadar memimpin administrasi. Mereka bertanggung jawab terhadap mutu pembelajaran, manajemen sekolah, dan dinamika internal. Namun tunjangannya masih jauh dari layak,” ujarnya.

Secara keseluruhan, Kalimantan Timur memiliki 6.104 sekolah formal dan non-formal dengan jumlah guru mencapai sekitar 57.000 orang. Kendati demikian, angka tersebut belum mampu menutupi kebutuhan tenaga pendidik di seluruh kabupaten dan kota, terlebih di wilayah terpencil.

Kekurangan guru dipicu oleh beberapa faktor yaitu banyaknya guru yang memasuki masa purna tugas, mutasi lintas daerah, hingga kematian. Namun sekolah belum diberikan kewenangan untuk mengangkat guru honorer secara mandiri karena aturan yang melarang penambahan tenaga non-ASN.

“Regulasinya mengikat. Ketika guru berhenti atau pensiun, sekolah tidak boleh langsung merekrut guru pengganti. Padahal proses belajar mengajar tidak bisa menunggu,” tegasnya.

Kesenjangan tunjangan guru menjadi persoalan lain yang dinilai sangat mendesak untuk diatur dalam regulasi nasional. Wiwik menyoroti adanya perbedaan yang cukup mencolok antara daerah satu dengan lainnya di Kaltim.

Ia memberikan contoh, tunjangan bagi guru di tingkat provinsi bisa mencapai Rp4,5 juta, sementara guru di Kota Samarinda hanya menerima sekitar Rp1 juta. Sebaliknya, guru di Kabupaten Kutai Timur menikmati tunjangan yang jauh lebih besar, bahkan bisa mencapai Rp10 juta per bulan.

“Perbedaan ini tidak hanya memicu kecemburuan, tetapi juga berdampak pada kualitas pemerataan guru. Banyak guru lebih memilih pindah ke daerah dengan tunjangan lebih tinggi,” ungkapnya.

Selain masalah kesejahteraan, Wiwik juga mengangkat isu mengenai lemahnya perlindungan terhadap guru dalam menjalankan tugas. Menurutnya, guru saat ini sangat rentan dilaporkan ke polisi bahkan hanya karena kesalahan kecil yang viral di media sosial.

“Kita menyaksikan semakin sering guru dilaporkan hanya karena persoalan sepele. Ini membuat guru takut bertindak dan berpengaruh pada proses pembelajaran,” katanya.

Ia meminta agar regulasi terkait perlindungan guru diperjelas, sehingga ada batasan yang tegas soal tindakan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran maupun batas kewenangan orang tua murid dalam melakukan pelaporan.

Masalah lainnya adalah akses pendidikan yang masih timpang antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Meski Kaltim termasuk daerah dengan APBD besar, angka anak putus sekolah maupun yang tidak bersekolah tetap menjadi perhatian serius.

“Masalah ini bukan hanya yang terlihat di media sosial. Di lapangan, kita menemukan banyak anak yang kesulitan mengakses sekolah, terutama di daerah pedalaman dan pesisir,” tambahnya.

Ia juga menilai perlindungan peserta didik perlu diperkuat, terutama berkaitan dengan isu sosial, kesehatan, dan kesehatan mental yang semakin mencuat belakangan ini.

Lebih lanjut, Wiwik turut menyinggung belum sinkronnya regulasi antara sekolah yang berada di bawah Dinas Pendidikan dan sekolah yang dikelola Kementerian Agama. Ketidaksinkronan tersebut terlihat pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan, kalender akademik, hingga kurikulum yang berbeda jalur.

“Sekolah-sekolah di bawah Kemenag dan Diknas seharusnya berada dalam standar yang setara. Namun sampai saat ini masih ada kendala koordinasi dan tumpang tindih aturan,” lanjutnya.

Terakhir, Wiwik menegaskan bahwa banyak persoalan pendidikan di daerah sebenarnya bisa diatasi jika RUU Sisdiknas mampu memberikan pengaturan yang lebih jelas, tegas, dan terukur.

“RUU ini harus mampu menjawab ketimpangan antardaerah, memperjelas perlindungan guru dan siswa, serta menciptakan sistem pendidikan yang lebih adil dan berkualitas,” pungkasnya. (SIK)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id

Exit mobile version