Tiga Kali Ditolak: Gereja Toraja di Samarinda Seberang Hadapi Jalan Terjal Pendirian Rumah Ibadah

Gereja Toraja di Samarinda Seberang yang mendapatkan penolakan warga. (Foto: Siko/Kaltimetam.id)

Samarinda, Kaltimetam.id – Ketegangan sosial kembali mengemuka di Samarinda Seberang, Kalimantan Timur, menyusul munculnya spanduk-spanduk penolakan terhadap rencana pendirian Gereja Toraja di Kelurahan Sungai Keledang. Polemik ini mencerminkan tarik-menarik kepentingan antara hak konstitusional untuk beribadah dengan persoalan administratif serta dinamika sosial di tingkat akar rumput.

Spanduk-spanduk penolakan itu terlihat terpasang di beberapa titik strategis wilayah Sungai Keledang, termasuk di bawah Flyover Jembatan Mahakam IV, dekat Kantor Kelurahan, dan di sekitar permukiman warga RT 24.

Isi dari spanduk tersebut menyuarakan keberatan warga terhadap pembangunan rumah ibadah dengan alasan belum tuntasnya proses administrasi serta belum adanya kesepakatan kolektif dari masyarakat sekitar.

Ketua Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) Kalimantan Timur sekaligus kuasa hukum Gereja Toraja Sungai Keledang, Hendra Kusuma, menyebut bahwa ini merupakan kali ketiga spanduk semacam itu muncul, bahkan jumlahnya semakin banyak dibanding sebelumnya.

“Kami sangat menyayangkan hal ini. Ini adalah bentuk intimidasi secara simbolik yang terus berulang. Padahal, dari sisi legal dan administratif, kami sudah mematuhi semua ketentuan yang berlaku,” ungkapnya.

Menurut Hendra, pihak gereja telah mengantongi sejumlah dokumen penting, seperti Surat Rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Surat Rekomendasi dari Kementerian Agama Kota Samarinda, serta surat pernyataan dukungan dari 105 warga sekitar dan 90 jemaat aktif Gereja Toraja.

Meski kemudian 20 warga mencabut dukungannya, Hendra menegaskan bahwa 80 dukungan warga yang tersisa masih memenuhi batas minimal sebagaimana diatur dalam SKB Dua Menteri Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah.

“Kalau berbicara soal legalitas, kami sudah melewati semua proses. SKB Dua Menteri mensyaratkan dukungan minimal 60 warga non-jemaat dan 90 jemaat. Kami sudah melebihi itu. Artinya, secara administratif, pendirian gereja ini sah dan memenuhi syarat,” tegas Hendra.

Ia juga menambahkan bahwa pihaknya terbuka untuk dialog dan berharap agar Pemerintah Kota Samarinda maupun DPRD dapat memfasilitasi Rapat Dengar Pendapat (RDP). Menurutnya, ruang dialog sangat penting agar tidak terjadi kesalahpahaman dan konflik sosial yang lebih besar.

“Saya ingin tahu juga alasan warga yang menolak. Jika memang ada keberatan, mari duduk bersama. Jangan sampai isu ini menjadi bara yang memicu perpecahan,” katanya.

Namun di sisi lain, warga yang menolak mengaku belum sepenuhnya yakin dengan kelengkapan izin pendirian gereja tersebut. Ketua RT 24 Sungai Keledang, Marliani, menyampaikan bahwa penolakan ini muncul karena sebagian warga merasa tidak pernah dimintai pendapat atau merasa proses perizinan dilakukan secara terburu-buru.

“Sebagian warga menyampaikan bahwa mereka belum pernah diminta tanda tangan atau persetujuan. Harusnya FKUB melakukan verifikasi ulang, bukan hanya mengandalkan data di atas kertas,” kata Marliani.

Ia juga menegaskan bahwa spanduk-spanduk penolakan itu muncul atas inisiatif warga sendiri, tanpa keterlibatan aparat kelurahan maupun RT. Hal itu menurutnya menjadi bentuk ekspresi kekecewaan terhadap proses yang dianggap tidak transparan.

Senada dengan hal tersebut, Lurah Sungai Keledang, Rahmadi, menyatakan bahwa persoalan ini harus disikapi dengan bijak. Menurutnya, spanduk-spanduk tersebut mencerminkan adanya keresahan warga yang harus ditanggapi secara serius oleh pemerintah kota.

“Ini bukan sekadar soal izin, tapi soal penerimaan sosial di lingkungan sekitar. Kami di kelurahan tetap netral dan hanya berfungsi sebagai fasilitator. Tapi jika warga merasa prosesnya belum sesuai, tentu harus ada dialog terbuka,” ujar Rahmadi.

Ia menambahkan bahwa pendirian rumah ibadah harus memenuhi dua hal yaitu kelengkapan administratif dan penerimaan sosial.

“Keduanya penting. Jangan sampai kita mengorbankan kerukunan demi mengejar legalitas semata,” tutupnya.

Polemik ini pun mendapat perhatian dari berbagai kalangan, termasuk tokoh agama dan aktivis hak asasi manusia. Mereka mendorong agar penyelesaian dilakukan secara damai dan berlandaskan prinsip keadilan dan toleransi. Ditekankan pula bahwa hak atas kebebasan beragama merupakan hak dasar setiap warga negara yang dijamin oleh UUD 1945. (SIK)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id

Exit mobile version