Kutai Kartanegara, Kaltimetam.id – Aktivitas tambang di Kelurahan Jawa, Kecamatan Sanga-Sanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, semakin mengkhawatirkan. Hanya berjarak sekitar 20–30 meter dari pemukiman, warga kini hidup dalam tekanan akibat kebisingan, debu, dan ancaman longsor yang semakin nyata.
Suara alat berat yang terus beroperasi hingga larut malam mengganggu istirahat warga, sementara polusi debu menyebabkan masalah kesehatan.
Tak hanya itu, minimnya sosialisasi dari pihak perusahaan serta ketiadaan kompensasi yang layak membuat warga merasa diabaikan. Pemerintah desa pun dinilai tidak memberikan solusi atas permasalahan yang terus membebani mereka.
Munah (bukan nama sebenarnya), seorang warga yang tinggal dekat tambang, mengaku sering terbangun di tengah malam akibat suara excavator yang menggali tanah di belakang rumahnya.
“Sering kaget pas malam hari, seperti lupa kalau rumah saya diapit tambang,” ujarnya pada Selasa (11/02/2025).
Sudah lebih dari dua bulan, salah satu perusahaan tambang terbesar di wilayah itu membuka lahan pertambangan baru tanpa koordinasi dengan warga. Menurut Munah, tidak ada pemberitahuan atau diskusi sebelum perusahaan mulai beroperasi.
“Tiba-tiba ada tambang di belakang rumah. Tidak ada komunikasi, tidak ada sosialisasi. Kami hanya bisa pasrah,” tuturnya.
Ia mengaku bingung harus mengadu ke siapa. Pemerintah desa yang diharapkan bisa menjadi jembatan antara warga dan perusahaan justru terkesan diam.
Setiap hari, Munah dan suaminya terpaksa beradaptasi dengan suara bising tambang yang terus beroperasi dari pagi hingga malam. Namun yang lebih mengkhawatirkan adalah ancaman longsor, terutama saat hujan deras mengguyur wilayah itu.
“Kami takut kalau tanah di belakang rumah tiba-tiba longsor. Hujan akhir-akhir ini deras, dan kami tidak tahu kapan bencana itu bisa terjadi,” tambahnya.
“Kami hanya ingin tinggal dengan aman di rumah sendiri. Tapi setiap hari, kami harus menghadapi suara bising, debu, dan ketakutan akan longsor. Sampai kapan kami harus bertahan?” Lanjutnya.
Tak hanya Munah, warga lain yang tinggal di sekitar tambang juga merasakan dampak buruk dari aktivitas pertambangan yang terus berjalan tanpa henti. Untung (bukan nama sebenarnya) mengungkapkan keluhannya mengenai suara bising yang mengganggu waktu istirahat mereka.
“Kalau bisa malam jangan beroperasi. Kami juga butuh tidur nyenyak, tapi ini suara alat berat terus berdengung sampai pagi,” ucapnya.
Selain itu, Untung menyoroti ketidakjelasan kompensasi yang seharusnya diberikan kepada warga terdampak. Menurutnya, perusahaan seharusnya memberikan ganti rugi atau solusi bagi warga yang hidup berdekatan dengan tambang.
“Minimal ada kompensasi, tapi ini tidak ada sama sekali. Kami cuma bisa menerima keadaan tanpa kepastian,” keluhnya.
Selain suara bising dan polusi, warga kini dihantui oleh ancaman tanah longsor. Latri, seorang warga paruh baya, menunjukkan kondisi pekarangan belakang rumahnya yang kini penuh dengan tumpukan tanah hasil galian tambang.
“Setiap hari tanah bekas galian makin mendekati rumah saya. Kalau hujan deras, takutnya longsor dan menimpa rumah,” katanya.
Ketakutan warga bukan tanpa alasan. Beberapa tahun lalu, longsor akibat aktivitas tambang di daerah ini sempat menyebabkan putusnya jalan penghubung Sanga-Sanga dengan Muara Jawa. Bahkan, beberapa rumah warga ikut tertimbun akibat peristiwa tersebut.
Menurut aturan yang berlaku, aktivitas tambang seharusnya tidak dilakukan terlalu dekat dengan pemukiman. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012 menyebutkan bahwa jarak minimal antara tambang dan pemukiman adalah 500 meter. Sementara itu, Peraturan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 35 Tahun 2017 menetapkan bahwa pertambangan hanya boleh beroperasi dalam jarak minimal 1 kilometer dari pemukiman, kecuali jika ada persetujuan dari warga.
Namun, di Sanga-Sanga, tambang ini berada jauh lebih dekat dari batas yang diperbolehkan.
Seorang Paralegal yang mendampingi warga, Nugraha, menyebut bahwa tambang ini telah melakukan pelanggaran serius.
“Ini tambang resmi, tapi rasa ilegal. Mereka tidak meminta izin ke warga karena mereka tahu sudah melanggar aturan,” tegasnya.
Ia juga menyoroti tali asih yang diberikan kepada sebagian warga. Menurutnya, jumlah tali asih sebesar Rp 150 ribu per bulan tidak sebanding dengan dampak yang dirasakan warga.
“Rp 150 ribu itu sudah termasuk uang debu, banjir, dan bising. Ada yang dapat, ada yang tidak. Tapi bagi yang sudah menerima, mereka tidak bisa komplain lagi,” jelasnya.
Menanggapi keluhan warga, PT Adimitra Baratama Nusantara (PT ABN) memberikan klarifikasi terkait operasional tambang mereka di Sanga-Sanga. Pihak perusahaan mengklaim telah melakukan studi kelayakan sebelum mulai beroperasi.
“Dasarnya adalah Feasibility Study (FS), jadi tentu kami sudah berkonsultasi dengan masyarakat sebelum proyek ini berjalan,” ujar Bambang, Manager External PT ABN.
Ia juga menyebut bahwa perusahaan telah menggandeng kontraktor yang melibatkan warga dalam diskusi publik terkait proyek tambang ini.
“Setahu saya, dalam perjanjian, para pekerja juga mengakomodasi kepentingan warga sekitar. Kami juga memiliki program CSR, beasiswa, dan tali asih untuk masyarakat terdampak,” tambahnya.
Bambang juga menegaskan bahwa perusahaan telah mempertimbangkan mitigasi risiko untuk mencegah longsor.
“Kami sudah memperhitungkan antisipasi longsor, dan pengerjaan tambang di sana tidak akan berlangsung lama,” katanya.
Meski pihak perusahaan mengklaim telah melakukan studi dan konsultasi, warga tetap merasa belum mendapatkan solusi atas masalah yang mereka hadapi. Mereka berharap adanya langkah nyata untuk mengurangi dampak pertambangan, baik dari sisi kebisingan, polusi, maupun ancaman longsor.
Masyarakat juga meminta perhatian dari pemerintah daerah agar tidak menutup mata terhadap penderitaan mereka. Jika tidak ada tindakan segera, dikhawatirkan risiko longsor dan dampak lingkungan lainnya akan semakin memburuk, mengancam keselamatan warga. (SIK)
Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id