Samarinda, Kaltimetam.id – Pembangunan tugu berbentuk siluet pesut di Simpang Lembuswana, Kota Samarinda, menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat.
Proyek yang menggunakan anggaran sebesar Rp 1,1 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ini menuai kritik tajam karena dinilai tidak mencerminkan ikon khas Samarinda, yaitu pesut Mahakam.
Tugu yang memiliki tinggi sekitar 8 meter ini didominasi warna merah terang dan terbuat dari baja berlapis kabel plastik daur ulang. Meski Pemkot Samarinda mengklaim tugu tersebut sebagai simbol modernitas kota, hasil akhirnya justru dianggap jauh dari ekspektasi. Kritik pun bermunculan, baik dari masyarakat maupun pengamat.
Sejak tugu tersebut jadi, media sosial dipenuhi komentar warganet yang mengkritik desainnya. Banyak yang menilai tugu ini tidak merepresentasikan pesut, mamalia air tawar langka yang menjadi kebanggaan Samarinda. Alih-alih menggambarkan pesut secara nyata, desain tugu dinilai terlalu abstrak dan sulit dimengerti.
Selain itu, warna merah terang yang digunakan juga dinilai tidak mencerminkan nuansa khas daerah yang identik dengan pesut Mahakam. Banyak yang menganggap bahwa desain tugu ini seharusnya lebih mendalam dan memiliki filosofi yang relevan dengan sejarah serta budaya Samarinda.
Pengamat Ekonomi Universitas Mulawarman, Purwadi, turut menyampaikan pendapatnya terkait proyek tersebut. Ia mengungkapkan keheranannya atas biaya besar yang dikeluarkan untuk pembangunan tugu yang tidak sesuai ekspektasi masyarakat.
“Wajar saja masyarakat merasa kecewa. Dengan anggaran sebesar itu, desainnya seharusnya lebih baik dan sesuai ikon kota,” kata Purwadi.
Purwadi juga menyoroti manajemen anggaran dan transparansi proyek ini. Menurutnya, Pemkot Samarinda perlu memberikan penjelasan detail mengenai penggunaan anggaran, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan.
“Masyarakat berhak mengetahui siapa kontraktor yang mengerjakan proyek ini, bagaimana proses tendernya, dan seperti apa rancangan awalnya. Keterbukaan informasi publik menjadi sangat penting, terutama untuk proyek yang menggunakan dana publik,” tegasnya.
Menurut Purwadi, salah satu aspek yang perlu disoroti adalah Rencana Anggaran Biaya (RAB) proyek. Ia mempertanyakan apakah alokasi dana sebesar Rp 1,1 miliar benar-benar masuk akal untuk tugu dengan desain sederhana seperti itu.
“RAB harus dibuka ke publik agar kita bisa menilai apakah anggarannya sesuai atau terlalu berlebihan. Kalau dilihat dari hasil akhirnya, rasanya sulit membayangkan anggaran sebesar itu benar-benar digunakan secara maksimal,” ujarnya.
Purwadi menambahkan, dana sebesar Rp 1,1 miliar sebenarnya bisa dialokasikan untuk kebutuhan yang lebih mendesak. Ia mencontohkan bahwa anggaran tersebut cukup untuk membangun satu gedung sekolah atau memperbaiki infrastruktur dasar yang lebih bermanfaat bagi masyarakat.
“Jika dialokasikan untuk kebutuhan lain, dampaknya pasti akan lebih terasa langsung oleh masyarakat,” katanya.
Di tengah kritik yang terus bermunculan, banyak pihak mendesak Pemkot Samarinda untuk lebih transparan. Selain soal desain, masyarakat juga mempertanyakan mekanisme pelaksanaan proyek, mulai dari tender hingga pemilihan kontraktor.
Menurut Purwadi, kritik ini seharusnya menjadi pembelajaran bagi pemerintah daerah. Ke depan, setiap proyek besar yang melibatkan dana publik harus melalui proses konsultasi dan sosialisasi yang lebih baik dengan masyarakat.
“Jika sejak awal masyarakat dilibatkan dalam proses perencanaan, mungkin hasilnya tidak akan seperti ini. Transparansi dan partisipasi publik adalah kunci untuk menghindari polemik seperti ini,” pungkasnya. (SIK)
Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id