Modus Mistis dan Meditasi, Dugaan Pelecehan Seksual Terjadi Saat Kegiatan Pramuka

Ilustrasi Pelecehan seksual. (Foto: Istimewa)

Samarinda, Kaltimetam.id – Dunia pendidikan kembali diguncang oleh kasus dugaan pelecehan seksual yang mengejutkan, kali ini terjadi dalam kegiatan kepramukaan di salah satu sekolah menengah di Kota Samarinda. Seorang pembina pramuka dilaporkan melakukan pelecehan seksual terhadap empat remaja perempuan berusia sekitar 19 tahun, yang saat itu sedang membantu kegiatan perkemahan di sekolah yang merupakan almamater mereka.

Kejadian memilukan ini terjadi pada Jumat dini hari, 13 Juni 2025. Enam orang alumni sekolah dipanggil oleh oknum pembina pramuka untuk hadir di sekolah sekitar pukul 02.00 Wita, dengan alasan membantu mempersiapkan kegiatan kepramukaan. Dari enam orang yang hadir, empat di antaranya adalah perempuan dan menjadi target dari aksi tidak senonoh tersebut.

Menurut keterangan Ketua Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kalimantan Timur, Rina Zainun, dugaan pelecehan berlangsung dalam suasana yang dibuat mistis oleh pelaku. Para korban dikumpulkan di sebuah musala sekolah, lalu diarahkan untuk melakukan semacam meditasi atau hipnotis, dengan dalih membersihkan diri dari energi negatif dan menghindari kerasukan makhluk halus karena telah memasak di waktu yang dianggap ‘pantang’.

“Pelaku meminta korban menutup mata dan mengikuti instruksinya, seperti ‘pejamkan mata, masuk ke alam bawah sadar’. Ini jelas bukan bagian dari kegiatan pramuka yang sehat dan edukatif, melainkan bentuk manipulasi yang mengarah pada pelecehan,” ujar Rina.

Korban pertama menjadi target awal. Ia dituntun ke mimbar musala dan saat lampu dimatikan, pelaku mulai melakukan tindakan pelecehan. Korban yang masih berpakaian lengkap diminta berbaring terlentang. Pelaku kemudian mencium bagian atas bibir korban, meraba area payudara, hingga mengarahkan tangan korban ke alat kelaminnya sambil melakukan gerakan yang mengarah pada aktivitas seksual. Saat korban bertanya, “Kak, ngapain?”, pelaku membalas, “Kamu sadar kah?”, seolah ingin memastikan kondisi kesadaran korban. Saat korban menjawab bahwa ia sadar, pelaku segera menghentikan aksinya dan membawa korban kembali ke musala.

Korban kedua, yang sedang mengalami kram kaki, diminta berbaring dan dikelilingi oleh korban lain atas perintah pelaku. Ketika korban pertama menolak pengobatan serupa, pelaku membawa korban kedua ke sebuah gudang kosong. Di sana, korban diminta berbaring di atas spanduk dan menutup mata. Pelaku lalu memanipulasi tangan korban untuk membentuk huruf “O” dan memasukkan jarinya ke dalam formasi itu. Saat korban bertanya, “Kak, ngapain?”, pelaku kembali bertanya balik, “Apa yang kamu rasakan?”

“Modus yang digunakan sangat sistematis dan memanfaatkan manipulasi spiritual serta kepercayaan yang dimiliki korban terhadap pembina pramuka mereka,” terang Rina.

Sekitar pukul 04.30 Wita, pelaku memanggil korban ketiga dan mengajaknya berkeliling sekolah, mengatakan bahwa tubuh korban memiliki aura negatif. Setelah masuk ke ruang kelas, mereka menuju pos parkir. Di sana, korban diminta duduk dan memejamkan mata sebelum dicium di dekat bibir. Saat korban hendak berteriak, pelaku menahannya dengan dalih agar tidak mengganggu adik-adik pramuka lainnya.

Korban kemudian diajak ke gudang yang sebelumnya digunakan. Namun, saat pelaku mulai membuka celananya, korban langsung melarikan diri. Ia dituntun kembali ke musala dan diminta untuk salat Subuh. Pukul 05.30 Wita, korban keempat dipanggil. Namun berbeda dari sebelumnya, korban menolak permintaan pelaku untuk “dinetralisasi” dari aura negatif, sehingga upaya pelecehan tidak terjadi.

Lebih mengejutkan lagi, berdasarkan penuturan korban ketiga, kejadian aneh serupa pernah dialaminya saat masih menjadi siswa aktif. Dalam sebuah kegiatan kemah, ia disuruh meminum teh pahit karena disebut sedang “diikuti setan”, lalu dibawa ke semak-semak dekat pohon besar. Korban sempat tidak sadarkan diri, dan ketika sadar, wajahnya basah oleh cairan lengket yang tidak dikenalnya.

“Pelaku bahkan sempat bertanya kepada korban, ‘Kamu sadar kah habis ngapain?’ Saat itu korban masih setengah sadar, dan tidak mampu mengingat kejadian secara utuh,” kata Rina.

Kasus ini kini telah dilaporkan oleh TRC PPA Kaltim bersama keluarga para korban ke pihak kepolisian. Langkah hukum ini diambil agar pelaku bisa diproses secara pidana dan tidak lagi mengulangi perbuatannya di lingkungan pendidikan.

“Kami berharap kasus ini ditangani dengan serius oleh aparat penegak hukum. Ini bukan hanya pelecehan seksual, tapi penyalahgunaan wewenang dan manipulasi psikologis yang sangat berbahaya,” pungkasnya. (SIK)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id

Exit mobile version