Kota Tumbuh, Pedagang Tersingkir? Narasi Relokasi yang Belum Usai

Kondisi Pasar Subuh yang berlokasi di Gang III, Jalan Yos Sudarso, Samarinda usai dilakukan penertiban (Foto: Ree/Kaltimetam.id)

Samarinda, Kaltimetam.id – Penertiban Pasar Subuh di Gang III, Jalan Yos Sudarso, Samarinda, pada Jum’at pagi (9/5/2025) kembali memantik riak di tengah masyarakat. Suasana ricuh yang terjadi saat aparat gabungan melakukan pembongkaran lapak-lapak pedagang bukan semata-mata potret dari benturan antara warga kecil dan kekuasaan, melainkan cerminan dari betapa peliknya persoalan tata ruang dan keadilan ekonomi di kota yang sedang tumbuh ini.

Di satu sisi, langkah pemerintah untuk menata ulang kawasan nonresmi yang selama ini dijadikan pusat aktivitas ekonomi sejak dini hari patut dipahami sebagai bagian dari visi membangun kota yang lebih teratur.

Kota Samarinda, seperti yang sering digaungkan oleh pemerintah, bercita-cita menjadi pusat jasa dan perdagangan. Dalam visi tersebut, penataan ruang publik bukan hanya keharusan, tetapi keniscayaan, demi kebersihan, kenyamanan, dan kepastian hukum dalam penggunaan lahan. Apalagi, sebagian area Pasar Subuh diketahui berdiri di atas tanah milik pribadi, dan permintaan penertiban dari pemilik lahan telah diajukan sejak lebih dari satu dekade lalu.

Namun di sisi lain, realitas sosial-ekonomi para pedagang kecil tak bisa begitu saja disingkirkan atas nama keteraturan. Banyak dari mereka telah menggantungkan hidupnya di sana selama bertahun-tahun. Mereka membangun relasi dagang yang khas dan sulit tergantikan, terutama dengan komunitas pembeli yang sudah terbiasa dengan ritme pasar subuh yang informal.

Bagi sebagian pedagang, relokasi bukan hanya soal pindah tempat, tapi juga soal kehilangan pelanggan, pendapatan, bahkan harapan.

Kritik yang muncul pun tak sepenuhnya salah. Sosialisasi yang dinilai terbatas, minimnya komunikasi yang melibatkan semua pihak secara langsung, hingga penolakan sebagian pedagang yang merasa suara mereka tak cukup terdengar, menunjukkan bahwa kebijakan publik, betapapun baik niatnya, akan selalu rentan menuai gesekan bila dialog tidak dikedepankan.

Pemerintah mungkin telah menyiapkan lokasi baru, namun keberhasilan relokasi tak hanya diukur dari seberapa banyak kios yang tersedia, melainkan juga dari seberapa besar rasa memiliki yang ditumbuhkan di antara para pedagang terhadap tempat baru tersebut.

Dalam kasus ini, tidak ada satu pihak pun yang benar-benar salah. Pemerintah menjalankan mandatnya menata kota, sementara pedagang memperjuangkan ruang hidup dan nafkah mereka. Justru di sinilah pentingnya membangun jembatan di antara keduanya.

Keteraturan kota tidak harus menyingkirkan yang kecil, dan perjuangan rakyat kecil tidak harus menolak perubahan. Kuncinya adalah komunikasi yang jujur, empati yang tulus, dan kehendak bersama untuk mencari titik temu.

Samarinda tidak akan menjadi kota modern hanya dengan membangun pasar berarsitektur megah atau jalan yang mulus. Kota ini akan tumbuh secara utuh bila pembangunan dijalankan dengan keberpihakan pada dialog, bukan sekadar kebijakan dari balik meja.

Maka dari itu, relokasi Pasar Subuh bisa menjadi momentum, bukan hanya untuk menata ruang, tetapi juga untuk menata ulang cara kita membangun kota dengan mendengarkan, mengajak bicara, dan berjalan bersama. (REE)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id

Exit mobile version