Samarinda, Kaltimetam.id – Sebuah status WhatsApp menjadi awal terungkapnya kasus dugaan penganiayaan yang menewaskan seorang remaja berusia 14 tahun di Kota Samarinda. Kalimat singkat yang diunggah oleh seorang teman korban “Aku ikhlas dengan kepergianmu, tapi aku tidak ikhlas dengan cara kematianmu” kini menjadi kunci yang membuka tabir tragedi memilukan tersebut.
Kasus yang semula dikira kematian wajar kini berubah menjadi dugaan tindak kekerasan anak terhadap anak. Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kalimantan Timur memastikan akan mengawal proses hukum serta memberikan pendampingan penuh kepada keluarga korban hingga keadilan benar-benar ditegakkan.
“Sejauh ini kami masih terus mendampingi keluarga korban. Hari ini dua saksi kembali dipanggil oleh pihak kepolisian di Polresta Samarinda. Mereka adalah saksi yang pertama kali mengungkap awal kasus ini,” ujar Ketua TRC PPA Kaltim, Rina Zainun.
Rina menjelaskan, kasus ini mulai terkuak setelah salah seorang teman korban menulis status di WhatsApp yang berisi pernyataan duka namun menyiratkan ketidakikhlasan atas penyebab kematian korban. Status tersebut kemudian menjadi perhatian keluarga dan masyarakat sekitar.
“Saksi yang menulis status itu adalah teman bermain korban di lingkungan rumah yang sama. Mereka sering bermain bersama meskipun sekolahnya berbeda,” tuturnya.
Keterangan saksi menjadi pintu masuk penyelidikan pihak kepolisian. Setelah dilakukan pemeriksaan, terungkap bahwa saksi sempat melihat peristiwa pada malam kejadian. Polisi pun memanggil sejumlah saksi lainnya, termasuk anak-anak yang berada di lokasi kejadian.
Pada awalnya, keluarga korban tidak menaruh curiga terhadap kematian sang anak. Mereka mengira korban meninggal karena kecelakaan atau jatuh saat bermain. Namun, saat proses pemulasaran, keluarga menemukan tanda-tanda memar dan luka di beberapa bagian tubuh korban.
“Awalnya pihak keluarga mengira luka itu akibat jatuh. Tapi setelah melihat status di WhatsApp dan membuka isi handphone korban, barulah mereka menyadari ada sesuatu yang tidak wajar,” ungkapnya.
Kecurigaan itu membuat keluarga segera melapor ke kepolisian dan meminta otopsi untuk memastikan penyebab kematian anak mereka.
“Permintaan otopsi datang langsung dari orang tua korban. Mereka ingin mengetahui kebenaran sesungguhnya karena awalnya tidak tahu kalau anaknya mengalami penganiayaan,” katanya.
Proses penyelidikan pun berlangsung intensif. Pada 1 November 2025, Polresta Samarinda memanggil seluruh pihak yang terlibat, termasuk anak berhadapan dengan hukum (ABH) dan saksi-saksi lainnya. Dari hasil pemeriksaan, muncul pengakuan mengejutkan bahwa memang telah terjadi pemukulan terhadap korban.
Dari data sementara, pelaku utama diduga seorang anak berusia 12 tahun, sementara korban berusia 14 tahun. Keduanya tinggal di lingkungan yang sama dan dikenal sering bermain bersama. Polisi masih menelusuri motif di balik peristiwa tragis ini.
“Kami menghargai proses hukum yang sedang berjalan. Namun kami juga menegaskan bahwa keadilan bagi korban harus menjadi prioritas,” pungkasnya. (SIK)
Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id
