Samarinda, Kaltimetam.id – Ramai perbincangan publik belakangan ini menyoroti kejadian di Jakarta, di mana sebuah ambulans yang tengah membawa pasien terekam kamera Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) saat menerobos lampu merah dan dikenai sanksi tilang.
Kasus ini memicu polemik luas, terutama mengenai bagaimana penerapan teknologi ETLE dapat berbenturan dengan realitas di lapangan, khususnya dalam situasi darurat yang melibatkan kendaraan prioritas.
Kepala Satuan Lalu Lintas (Kasatlantas) Polresta Samarinda, Kompol La Ode Prasetyo, menyampaikan bahwa sistem ETLE di Samarinda tidak secara otomatis memberlakukan sanksi tilang kepada ambulans atau kendaraan darurat lainnya.
“Sampai hari ini, kami tidak pernah melakukan penindakan terhadap ambulans yang terekam ETLE di Samarinda,” tegas La Ode, Senin (14/4/2025).
“Mekanisme sistem ETLE memang akan memfoto dan merekam seluruh pelanggaran lalu lintas yang terjadi, tanpa membedakan jenis kendaraan. Namun setelah itu, semua data yang masuk akan melalui proses validasi oleh petugas kami di back office,” lanjutnya.
Menurut La Ode, kamera ETLE bekerja berdasarkan sensor otomatis yang tidak memiliki kemampuan membedakan jenis pelanggar apakah itu kendaraan pribadi, angkutan umum, atau kendaraan prioritas seperti ambulans, pemadam kebakaran, dan kendaraan dinas tertentu.
Namun, tidak semua hasil tangkapan kamera tersebut otomatis dijadikan dasar penilangan. Setiap pelanggaran yang terekam harus melalui proses verifikasi dan validasi yang dilakukan secara manual oleh petugas yang berwenang.
“Ambulans yang terekam melanggar lampu merah, misalnya, tetap kami cek. Jika terbukti kendaraan itu sedang menjalankan tugas kemanusiaan, terutama mengangkut pasien atau dalam kondisi darurat, maka tidak akan kami proses sebagai pelanggaran,” jelasnya.
La Ode juga menekankan bahwa ambulans, sebagai kendaraan yang termasuk dalam kategori kendaraan prioritas, memiliki hak untuk melanggar rambu lalu lintas dalam keadaan darurat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
“Ambulans tidak boleh disamakan dengan kendaraan biasa. Ia membawa nyawa, membawa harapan. Negara mengakui bahwa dalam situasi tertentu, mereka berhak melanggar aturan selama itu dilakukan secara bertanggung jawab, seperti menyalakan sirine dan rotator,” ujarnya.
Menanggapi fenomena warga sipil yang ikut membantu membuka jalan atau bahkan mengawal ambulans dengan kendaraan pribadi, La Ode mengimbau agar masyarakat tidak melakukan pengawalan tanpa izin resmi.
“Kami paham maksudnya baik, ingin membantu. Tapi pengawalan oleh warga sipil itu justru berpotensi menimbulkan pelanggaran atau bahkan membahayakan. Tanpa pengawalan pun, ambulans sudah memiliki hak utama di jalan raya,” katanya.
Ia juga mengingatkan kepada seluruh pengguna jalan agar selalu memberi jalan kepada kendaraan darurat. Masyarakat diminta untuk segera menepi dan tidak menutup lajur saat mendengar suara sirine.
“Kesadaran bersama sangat penting. Mungkin hari ini bukan keluarga kita yang ada di dalam ambulans, tapi suatu saat bisa saja kita yang membutuhkan jalan bebas hambatan itu,” ucap La Ode.
Terakhir, La Ode Prasetyo menegaskan bahwa keberadaan ETLE bukan semata-mata alat penindakan, tetapi juga sebagai sarana edukasi untuk menciptakan budaya tertib lalu lintas yang modern dan beradab.
“ETLE bukan musuh masyarakat. Ini adalah alat bantu agar masyarakat menjadi lebih disiplin. Tapi kami pastikan, penegakan hukum di Samarinda akan tetap manusiawi, tidak kaku, dan berpihak pada kemaslahatan bersama,” pungkasnya. (SIK)
Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id