Isu Jual-Beli LKS di SD 017 Samarinda Dibantah, Sekolah Ungkap Kronologi Sebenarnya

Kepala Sekolah SDN 017 Sungai Pinang, Dahlina. (Foto: Siko/Kaltimetam.id)

Samarinda, Kaltimetam.id – Dunia pendidikan di Kota Samarinda kembali diramaikan dengan mencuatnya dugaan praktik jual-beli buku Lembar Kerja Siswa (LKS) di SD Negeri 017 Sungai Pinang.

Informasi ini sempat memicu keprihatinan masyarakat, mengingat pemerintah telah melarang keras transaksi penjualan buku di sekolah. Namun pihak sekolah membantah adanya praktik tersebut dan menegaskan bahwa persoalan berawal dari miskomunikasi serta keterbatasan distribusi buku dari pemerintah.

Kepala Sekolah SDN 017 Sungai Pinang, Dahlina, mengungkapkan duduk perkara yang menimbulkan polemik. Menurutnya, distribusi Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) dari pemerintah tidak sesuai dengan jumlah siswa yang ada di kelas II pada tahun ajaran baru.

“Data yang digunakan masih mengacu pada tahun lalu, ketika siswa kelas II hanya 30 orang. Tahun ini jumlahnya meningkat menjadi 56 siswa, sehingga ada kekurangan 26 buku. Karena itu sesuai instruksi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, buku tidak boleh dibagikan sebagian. Kami simpan dulu agar tidak menimbulkan ketimpangan,” jelasnya.

Kondisi tersebut membuat siswa kelas II terpaksa menggunakan LKPD secara bergantian di sekolah. Sebagai contoh, buku Matematika hanya bisa digunakan satu anak dalam sehari, lalu dipinjamkan kepada siswa lain pada hari berikutnya.

Sistem bergantian itu memunculkan keluhan dari sejumlah wali murid. Mereka khawatir anak-anak kesulitan belajar secara mandiri di rumah tanpa adanya pegangan buku. Dari sinilah muncul desakan agar sekolah membantu menyediakan buku tambahan.

“Orang tua meminta adanya buku pegangan untuk belajar di rumah. Permintaan itu disampaikan guru kepada saya. Namun sejak awal saya tegaskan, sekolah tidak boleh menjual buku dalam bentuk apa pun. Itu aturan yang jelas,” kata Dahlina.

Polemik kian membesar setelah penjelasan pihak sekolah disalahartikan. Dahlina mengakui sempat menggunakan analogi “air di gelas” untuk menggambarkan manfaat tambahan materi pembelajaran.

“Saya katakan, anak yang belajar di sekolah ibarat mendapat setengah gelas air. Jika ada tambahan bacaan atau latihan di rumah, maka air itu bisa penuh. Bukan berarti tanpa LKS anak nilainya berkurang, tetapi dengan latihan tambahan hasil belajar bisa lebih optimal,” ungkapnya.

Sayangnya, analogi tersebut dianggap sebagian orang tua sebagai bentuk dorongan agar membeli LKS. Padahal, menurut Dahlina, maksud penjelasan itu adalah memberi ilustrasi pentingnya latihan tambahan di luar jam sekolah, bukan mewajibkan adanya pembelian buku.

Lebih lanjut, Dahlina memastikan bahwa sekolah patuh terhadap aturan Pemerintah Kota Samarinda. Tidak ada praktik jual-beli buku di lingkungan sekolah. Semua langkah yang diambil murni untuk menjaga pemerataan fasilitas belajar bagi siswa.

“Kami paham aturan Pemkot Samarinda. Tidak ada ruang untuk penjualan buku di sekolah. Persoalan ini murni akibat kekurangan distribusi buku dan miskomunikasi dalam penyampaiannya,” tegasnya.

Pihak sekolah berharap kejadian serupa tidak terulang. Dahlina meminta pemerintah melalui dinas terkait dapat lebih cermat dalam mendistribusikan buku sesuai jumlah siswa terkini. Dengan demikian, seluruh murid bisa mendapatkan hak belajar yang sama tanpa harus bergantian.

“Kami berharap ke depan data jumlah siswa lebih akurat sehingga distribusi LKPD sesuai kebutuhan. Dengan begitu, tidak ada lagi anak-anak yang harus berebut atau menunggu giliran untuk belajar menggunakan buku,” pungkasnya. (SIK)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id

Exit mobile version