Samarinda, Kaltimetam.id – Kontroversi mencuat dari lingkungan akademik di Kota Tepian setelah dosen tetap Universitas Widya Gama Mahakam (UWGM) Samarinda, Sri Evi New Yearsi, dinonaktifkan secara sepihak oleh pihak kampus.
Penonaktifan itu dilakukan di tengah proses hukum gugatan kekurangan pembayaran upah yang tengah ia jalani terhadap institusi tempatnya mengabdi.
Kuasa hukum Sri Evi, Titus Tibayan Pakalla, menilai langkah UWGM ini sebagai bentuk kriminalisasi terhadap kliennya, yang justru sedang memperjuangkan hak normatif sebagai pekerja.
“Surat penonaktifan sementara tertanggal 30 Juli 2025, tapi baru dikirim via email pada 1 Agustus. Ini mengagetkan karena terbit di tengah proses hukum yang sedang berjalan. Klien saya dinonaktifkan hanya karena menggugat hak upahnya yang tidak dibayarkan sesuai UMK,” ujarnya.
Menurutnya, Sri Evi telah berstatus dosen tetap sejak beberapa tahun lalu dan pernah menjabat Kepala UPT Laboratorium Fakultas Kesehatan Masyarakat. Dalam posisinya, Sri Evi menerima gaji yang dianggap berada di bawah Upah Minimum Kota (UMK) Samarinda, yang kemudian menjadi dasar pengajuan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
“Gugatan ini bukan tanpa dasar. Disnakertrans Provinsi Kalimantan Timur sudah mengeluarkan penetapan bahwa klien kami mengalami kekurangan upah sejak 2016 hingga 2024. Tapi kampus tetap enggan membayar,” jelas Titus.
Gugatan awal diajukan ke PHI Samarinda, namun dalam perjalanannya, pengadilan menyatakan tidak berwenang mengadili perkara tersebut. Proses hukum kini telah dilanjutkan ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Ironisnya, kata Titus, dalam surat penonaktifan tersebut, pihak kampus mencantumkan keterangan keliru bahwa Sri Evi tengah berperkara di Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur.
“Ini adalah bentuk misinformasi serius. Tidak ada proses hukum di Pengadilan Tinggi. Saat ini perkara sedang kasasi di Mahkamah Agung. Surat itu menyesatkan dan mencoreng reputasi klien kami,” tegasnya.
Selain itu, alasan yang digunakan dalam surat penonaktifan dinilai janggal. Pihak kampus menyebut langkah ini diambil demi menjaga ‘situasi kondusif’ di lingkungan akademik.
“Kalimat itu menggiring opini seolah-olah klien kami menjadi sumber kekacauan. Padahal tidak ada bukti atau laporan bahwa Sri Evi pernah menyebabkan keributan di kampus. Ini framing yang tidak berdasar,” tambahnya.
Penonaktifan ini berdampak langsung terhadap mahasiswa yang sedang dibimbing Sri Evi, baik untuk penyusunan skripsi maupun program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Sri Evi mengaku menerima banyak pesan dari mahasiswa yang kebingungan dan meminta tanda tangan untuk keperluan akademik.
“Saya tidak bisa memproses apa pun karena sudah dinonaktifkan. Tapi mahasiswa tetap menghubungi saya, bahkan memohon bantuan. Saya sampai minta maaf dan menyarankan mereka cari dosen pengganti,” ujar Sri Evi.
Sayangnya, menurutnya, tidak ada pemberitahuan resmi dari pihak kampus kepada mahasiswa terkait status dirinya.
“Ini membuat saya harus menjelaskan satu per satu ke mahasiswa. Seharusnya kampus yang menyampaikan. Tapi saya terpaksa ambil alih agar mereka tidak bingung,” katanya.
Sri Evi juga menjelaskan bahwa penonaktifan itu bukan hanya berdampak pada proses akademik, tetapi juga menghambat karier dan kesejahteraannya sebagai dosen.
“Sebentar lagi laporan Beban Kerja Dosen (BKD) harus diisi untuk kenaikan jabatan fungsional. Tapi karena saya nonaktif, saya tidak bisa jalankan Tri Dharma. Ini menghambat proses kenaikan jabatan saya jadi lektor. Ini jelas merugikan secara profesional,” paparnya.
Masalah ini bermula dari mutasi besar-besaran yang dilakukan kampus pada September 2024, tak lama setelah rektor baru dilantik. Sri Evi saat itu dicopot dari jabatannya sebagai Kepala UPT Laboratorium, tanpa penjelasan yang jelas dan obyektif.
“Alasan yang diberikan hanya karena saya dianggap jenuh. Itu alasan sangat subjektif. Tidak pernah ada evaluasi kinerja atau pelanggaran. Padahal saya baru saja selesai audit mutu internal dengan hasil sangat baik,” ungkapnya.
Merasa diperlakukan tidak adil, Sri Evi membawa persoalan ini ke Dinas Tenaga Kerja Kota Samarinda. Proses berlanjut hingga ke Disnakertrans Provinsi, yang kemudian mengeluarkan penetapan kekurangan pembayaran upah, menjadi dasar kuat gugatan ke PHI.
“Yang kami dapat justru bukan penyelesaian, tapi surat penonaktifan. Ini bukan hanya tekanan administratif, tapi sudah mengarah pada kriminalisasi,” katanya.
Titus menegaskan bahwa pihaknya telah mengajukan surat keberatan ke LLDIKTI Wilayah XI Kalimantan dan sedang menyiapkan langkah hukum lanjutan.
“Kami akan kirim somasi resmi kepada UWGM. Kami minta mereka segera mencabut surat penonaktifan dan memulihkan nama baik klien kami. Jika tidak, kami siap bawa persoalan ini lebih jauh ke ranah hukum,” tutupnya. (SIK)
Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id