Kisah Andria Septi Meniti Jalan Panjang Menuju Dunia Sastra

Penulis buku puisi berjudul Tata Laras Gema Rima, Andria Septi. (Foto: Ree/Kaltimetam.id)

Samarinda, Kaltimetam.id — Di balik riuhnya dunia sastra Indonesia, nama Andria Septi mulai menapaki jalannya sendiri. Perempuan kelahiran 11 September asal Samarinda ini tak lahir dari keluarga sastrawan. Ia tumbuh di tengah keterbatasan, bahkan membeli buku pun kerap dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena dianggap pemborosan.

“Jangankan beli buku sastra, buku fiksi saja dianggap pemborosan. Jadi dulu saya sering sembunyi-sembunyi kalau beli buku,” kenangnya, Jum’at (22/8/2025).

Namun, justru di situlah semuanya bermula. Sejak kecil ia akrab dengan kebiasaan menulis, tapi mimpi menjadi penulis baru benar-benar tumbuh ketika ia bertemu karya-karya seperti Harry Potter dan Supernova.

“Sebenarnya dari lama saya bercita-cita jadi novelis. Gara-gara baca Supernova, saya jadi kepikiran bisa juga bikin cerita sendiri,” ujarnya.

Langkah pertamanya sederhana, dimulai dengan menerbitkan novel indie Calistas Conflict pada 2016. Novel bertema bulu tangkis itu lahir dari imajinasi dan kegemarannya pada olahraga. Meski terbit secara online di aplikasi iPusnas, buku tersebut menjadi pintu masuk menuju dunia kepenulisan yang lebih serius.

Titik balik datang ketika Septi bergabung dengan komunitas Sindikat Lebah Berpikir (SLB) pada 2017. Di forum inilah ia pertama kali bersentuhan dengan puisi dan karya sastra lintas generasi.

“Semenjak ikut SLB saya mulai suka puisi, mulai kenal nama-nama penyair Indonesia sampai dunia. Dari situ saya merasa ada ruang belajar yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan,” ungkapnya.

Sejak itu, karya-karya Septi mulai menembus media nasional seperti Jawa Pos, Tempo, dan Kompas.id. Undangan sebagai Emerging Writer di Makassar International Writers Festival (MIWF) pada 2020 makin mengukuhkan langkahnya, meski baru bisa ia penuhi dua tahun kemudian karena pandemi.

Puncak pencapaian datang ketika puisinya Lensa Nieuwe Wijk Yogya meraih juara kelima di Festival Sastra Yogyakarta 2023. Setahun berselang, ia mengikuti residensi seniman Joffis (Jogjakarta Fotografis Festival) di Yogyakarta, memperluas jejaring sekaligus membuka ruang baru bagi kreativitasnya.

Namun bagi Septi, prestasi bukan satu-satunya tujuan. Menulis baginya adalah cara untuk merawat kenangan sekaligus berdamai dengan masa kecil.

“Ketika saya menulis puisi, rasanya seperti bisa kembali ke masa lalu. Bisa main lagi, bisa meneliti ulang kenangan. Itu sesuatu yang menyenangkan,” katanya.

Kini, di tengah kesibukan sebagai pengajar les privat, Septi tetap konsisten berkarya. Ia sadar menulis bukan jalan cepat menuju materi, melainkan perjalanan panjang yang menuntut ketekunan.

“Saya tetap bertahan karena memang suka. Menulis itu passion, bahkan kalau disebut penderitaan pun saya menikmatinya,” ucapnya.

Dengan konsistensi yang ia bangun sejak 2017, Andria Septi membuktikan bahwa keterbatasan bukan halangan untuk menembus panggung sastra nasional. Karyanya Tata Laras Gema Rima kini sudah bisa dinikmati di berbagai toko buku besar, menjadi saksi perjalanan seorang penulis muda dari Samarinda yang terus melangkah. (REE)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id