Tenggarong, Kaltimetam.id – Bagi para penggemar wisata sejarah di Kalimantan Timur (Kaltim), kunjungan ke Anggana, Kutai Lama, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) adalah sebuah keharusan. Tempat ini dikenal sebagai lokasi pertama kali Islam masuk ke Benua Etam.
Di Kutai Lama, pengunjung akan menemukan makam Kesultanan Kutai Kartanegara yang pertama memeluk Islam dan ulama yang berperan penting dalam penyebaran Islam di bumi Kutai.
Setiap akhir pekan, hari libur nasional, dan menjelang bulan puasa, kompleks makam ini dipenuhi oleh ratusan peziarah. Situs makam Raja Kutai Lama yang terletak di Desa Kutai Lama Anggana, Kutai Kartanegara, menjadi tujuan utama bagi mereka yang ingin menapaktilasi sejarah penyebaran Islam di wilayah ini.
“Terutama hari Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional, pengunjung membludak. Walaupun hari-hari biasa juga tetap ada kunjungan peziarah dengan berbagai keperluan doa maupun hajat,” ujar Abdullah, seorang pengelola makam.
Salah satu tokoh terkenal yang selalu diperingati setiap tahunnya adalah Tuan Habib Tunggang Parangan, seorang ulama yang berjasa dalam mengislamkan Benua Etam dan dihormati oleh masyarakat Kutai. Tunggang Parangan, yang dikenal dengan julukan Si Janggut Merah, bersama Datuk Ribandang, adalah tokoh penyebar agama Islam pertama di Kerajaan Kutai pada masa pemerintahan Raja Aji Mahkota (1525–1589).
Seiring waktu, penyebaran Islam di Kutai semakin meluas berkat upaya Sultan Aji Dilanggar atau Aji Gendung. Dalam versi sejarah lainnya, sebelum kedatangan Tuan Habib Tunggang Parangan, para saudagar Arab, termasuk Sayyid Muhammad bin Abdullah bin Abu Bakar al-Marzak, telah mencoba menyebarkan Islam di Kutai, namun Raja Mahkota belum bersedia memeluk Islam saat itu.
Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kertanegara Ing Martadipura, Drs. Adji Pangeran Adipati Praboe Anoem Soryo Adiningrat, telah menetapkan berbagai tata tertib bagi para peziarah dalam surat No 003/SEK-KD/KK/I/2009. Pengelolaan makam keramat Raja Kutai Lama, Sultan Adji Raja Mahkota Mulia Islam, yang merupakan anak dari Sultan Adji Dilanggar, serta makam ulama besar Tunggang Parangan, diserahkan kepada Kepala Desa dan Kepala Adat yang terdiri dari delapan pengurus.
Para peziarah yang datang dalam jumlah rombongan dengan membawa berbagai makanan untuk selamatan dapat memanfaatkan pendopo selamatan keramat Kutai Lama. Jika makanan sudah dimasak dari rumah, akan langsung diadakan prosesi doa bersama sesuai hajat mereka yang dipimpin oleh pengurus adat Kutai Lama. “Namun bagi peziarah yang melakukan penyembelihan kambing atau sapi, hal ini akan dikoordinasikan dengan pengurus adat,” tambah Abdullah.
Prosesi selanjutnya adalah naik ke area makam kedua raja, dengan membawa makanan yang telah dibungkus untuk didoakan oleh juru kunci makam. Setelah itu, makanan akan dibagikan kepada puluhan anak maupun orang dewasa yang sudah antre. Setelah ziarah di kompleks makam raja, biasanya dilanjutkan dengan ziarah di makam ulama besar Tunggang Parangan yang terletak di seberang jalan.
Sama seperti di area kompleks makam raja, di area makam ulama ini puluhan anak dan orang dewasa juga menunggu sedekah makanan maupun uang dari para peziarah. Banyaknya kunjungan peziarah ini membuka peluang ekonomi bagi masyarakat setempat, seperti warung makanan dan penjualan bunga untuk ziarah. (adv/disparkukar/hfi)
Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id