Warga Tolak Uang Kerohiman, Minta Ganti Rugi yang Adil atas Dampak Proyek Terowongan Samarinda

Dua warga Kelurahan Sungai Dama, Nurhayati (kanan) dan Susilawati (kiri), yang rumahnya terdampak akibat adanya proyek Terowongan Samarinda. Keduanya termasuk di antara tujuh warga yang menolak uang kompensasi dari Pemkot Samarinda. (Foto: Ree/Kaltimetam.id)

Samarinda, Kaltimetam.id – Proyek pembangunan terowongan bawah tanah di Kota Samarinda masih menyisakan polemik. Setelah pelaksanaan uji kekuatan struktur tanah atau Pile Driving Analyzer (PDA) Test pada Rabu malam lalu (15/10/2025) di kawasan Sungai Dama, Kecamatan Samarinda Ilir, sejumlah rumah warga di sekitar lokasi outlet terowongan dilaporkan mengalami retakan serius. Getaran dari alat berat yang digunakan dalam pengujian diduga menjadi penyebab utama kerusakan pada bangunan tersebut.

Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) bersama pemerintah kota (Pemkot) Samarinda turun langsung ke lapangan setelah menerima laporan dari warga. Dari hasil pendataan, tujuh rumah mengalami kerusakan paling parah.

Pemkot kemudian menawarkan bantuan berupa uang kerohiman senilai Rp9 juta kepada masing-masing pemilik rumah. Namun, tawaran tersebut menuai penolakan karena dinilai tidak sepadan dengan besarnya kerusakan.

Salah satu warga terdampak, Nurhayati, yang tinggal di Jalan Kakap RT 7, merasa kecewa dengan cara pemerintah menilai kerugian warga. Ia menuturkan, tim dari Pemkot datang secara mendadak tanpa penjelasan yang memadai mengenai dasar perhitungan nominal yang akan diberikan.

Ia berharap proses ganti rugi dilakukan dengan adil dan transparan, bukan sekadar formalitas untuk meredam keresahan warga.

“Awalnya sekitar jam dua siang mereka datang. Langsung saja bilang ini ganti rugi sekian, katanya dibulatkan sembilan juta. Saya langsung kaget karena nggak ada penjelasan apa-apa,” kata Nurhayati, Selasa (28/10/2025).

Menurut Nurhayati, jumlah yang ditawarkan pemerintah tidak sebanding dengan kerusakan yang dialaminya. Rumahnya mengalami retak di hampir seluruh dinding, lantai bergeser, bahkan sebagian keramik sudah pecah.

Ia menilai ganti rugi senilai Rp9 juta tidak cukup untuk menutup biaya perbaikan yang bisa mencapai puluhan juta rupiah.

“Saya nggak menerima karena nggak sesuai. Rumah saya besar, retakannya banyak, keramiknya pecah, dinding renggang, lantai turun. Kalau cuma dikasih segitu, mending saya cari tukang sendiri biar tahu beres,” ujarnya.

Ia juga mengaku sudah beberapa kali menyampaikan keluhan kepada pihak kelurahan dan petugas dari PUPR agar meninjau kembali kondisi rumahnya.

Namun permintaannya tidak pernah mendapat tanggapan berarti. Nurhayati menuturkan, petugas hanya menjawab bahwa penilaian sudah dilakukan sebelumnya dan tidak bisa diubah.

“Sudah bolak-balik saya minta sama pihak Pemkot dan Pak Lurah. Saya bilang tolong lihat langsung biar tahu kondisi rumah saya. Tapi katanya sudah dinilai sama PUPR, jadi nggak usah lagi. Saya nggak mau begitu,” ungkapnya.

Warga yang sudah menetap di kawasan itu lebih dari sepuluh tahun itu juga mengungkapkan, kerusakan di rumahnya bukan terjadi secara tiba-tiba. Sejak dua tahun lalu, saat proyek terowongan mulai berjalan, dinding rumahnya sudah mulai retak.

Ia bahkan masih menyimpan catatan dan dokumentasi awal kerusakan, yang sempat ditinjau oleh perwakilan kontraktor proyek.

“Dua tahun lebih proyek ini jalan. Dari awal sudah berdampak, pintu rumah ini dulu yang naik, nggak bisa ditutup. Saya sempat lapor sama Pak Gito waktu itu, datang juga tim proyek, katanya nanti diganti. Tapi sampai sekarang nggak ada realisasinya,” tuturnya.

Karena tak kunjung ada kejelasan, Nurhayati akhirnya memperbaiki rumahnya secara mandiri menggunakan uang pribadi. Ia membeli bahan bangunan sedikit demi sedikit sambil berharap pemerintah menepati janji.

Baru setelah aksi protes warga beberapa waktu lalu, Pemkot datang menawarkan uang kerohiman yang disebutnya jauh dari harapan.

“Sebelum lebaran saya sudah baikin sendiri. Soalnya saya pikir nggak bakal diganti. Tapi setelah demo kemarin baru ada tanggapan. Ya itu tadi, sembilan juta, saya nggak terima,” ucapnya tegas.

Tak hanya jumlah ganti rugi yang dipersoalkan, Nurhayati juga menilai dokumentasi penilaian yang dilakukan pemerintah tidak akurat.

Ia sempat diperlihatkan berkas berisi foto rumahnya yang dijadikan dasar perhitungan, namun hanya dua titik kerusakan yang tercantum dalam laporan.

Padahal menurutnya, kerusakan terjadi di hampir seluruh bagian rumah.

“Yang mereka lampirkan cuma dua foto. Padahal kenyataannya lebih banyak,” ujarnya sambil menunjukkan dinding dan lantai yang retak.

Tak jauh dari rumah Nurhayati, warga lainnya, Susilawati, juga mengalami nasib serupa. Rumah yang ia tempati di kawasan yang sama kini tampak miring dan sebagian lantainya turun karena pergeseran tanah.

Susilawati menuturkan, ia tidak mendapat pemberitahuan resmi sebelum kedatangan tim Pemkot.

“Ya datang aja langsung mendadak,” ujarnya.

Ia menjelaskan, perwakilan dari pemerintah datang membawa uang ganti rugi sebesar Rp9.065.000. Namun, prosesnya dianggap terburu-buru dan tidak transparan.

Ia tidak sempat mempelajari Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang menjadi dasar perhitungan karena petugas langsung menyerahkan uang dan meminta tanda tangan tanpa penjelasan.

“Untung suamiku sempat foto RAB-nya. Mereka nggak kasih salinannya ke kami. Harusnya kan dikasih dulu biar bisa kami pelajari. Tapi ini nggak, langsung aja dikasih uang, suruh tanda tangan. Kami jadi nggak sempat mikir,” tutur Susilawati.

Menurutnya, rumah yang ia tempati merupakan bangunan semi permanen dengan dapur yang sudah mulai turun akibat pergeseran tanah.

Ia mengatakan kondisi tanah di lingkungannya memang rawan longsor, dan sejak proyek terowongan mulai digarap, pergeseran tanah makin parah.

“Dapurnya semi permanen, body rumahnya kayu. Sekarang miring karena tanahnya turun. Di tempat saya itu sering longsor, semua tanah di sekitar sini sudah turun,” jelasnya.

Susilawati juga menyayangkan sikap tim Pemkot yang dinilainya kurang empati terhadap kondisi warga.

Ia mengaku keberatan dengan nominal ganti rugi yang diberikan dan sempat merasa ditekan untuk menerima tawaran tersebut.

“Nilainya nggak sesuai, rumah saya permanen. Tapi katanya kalau nggak mau terima, ya sudah, mereka nggak mau urus lagi,” pungkasnya. (REE)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id