Tak Capai Mufakat, Sengketa Gereja Toraja Mengarah ke Gugatan PTUN

Gereja Toraja di Samarinda Seberang yang mendapatkan penolakan warga. (Foto: Siko/Kaltimetam.id)

Samarinda, Kaltimetam.id – Persoalan pendirian Gereja Toraja di Kelurahan Sungai Keledang, Kecamatan Samarinda Seberang, kembali memasuki babak baru setelah pertemuan lanjutan pada Jumat (21/11/2025) berakhir tanpa kesepakatan. Pertemuan yang awalnya diharapkan menjadi ruang penyelesaian justru menambah panjang daftar perbedaan pendapat antara pihak gereja dan sebagian warga setempat.

Padahal, secara administratif, dokumen pembangunan rumah ibadah tersebut telah dinyatakan memenuhi persyaratan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan instansi teknis pemerintah. Namun, penolakan sejumlah warga yang mengatasnamakan kekhawatiran akan nilai sejarah, tradisi lokal, hingga dugaan persoalan proses sosial membuat pembangunan belum bisa berjalan.

Pertemuan yang berlangsung lebih dari dua jam itu dihadiri kuasa hukum Gereja Toraja, perwakilan warga, FKUB Samarinda, aparat kepolisian, dan tokoh masyarakat. Harapan untuk menemukan solusi bersama kembali kandas, sebab perbedaan pandangan tak menemukan titik temu.

“Pertemuan tadi tidak menghasilkan titik terang. Kami siap jika persoalan ini dibawa ke PTUN,” ujar kuasa hukum Gereja Toraja, Hendra Kusuma.

Menurut Hendra, pihak gereja telah mengikuti seluruh prosedur hukum yang berlaku, termasuk memenuhi syarat-syarat terbaru terkait Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak dapat menahan penerbitan izin tanpa dasar hukum yang kuat.

“Jika semua syarat lengkap dan sistem menyatakan layak, maka PBG keluar. Tidak boleh ada penahanan penerbitan tanpa alasan hukum yang sah,” tegasnya.

Lebih lanjut, Hendra juga mengakui bahwa sebagian warga telah menyatakan kesiapan membawa persoalan ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Menurutnya, langkah itu sah dan merupakan hak warga apabila merasa proses administrasi yang berjalan tidak sesuai.

“Itu hak warga dan kami menghormatinya. Negara sudah menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa, dan PTUN adalah salah satu jalur resmi,” katanya.

Sikap tersebut semakin menegaskan bahwa perdebatan tak lagi berada di ranah pertemuan musyawarah semata, melainkan mulai menyentuh aspek hukum administrasi negara.

Dari pihak FKUB, pernyataan terkait kelengkapan dokumen kembali ditegaskan. Seluruh persyaratan yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 yang mengatur pendirian rumah ibadah telah dipenuhi. Termasuk dokumen dukungan warga dan verifikasi lapangan.

Namun pihak warga tetap menilai ada hal-hal lain yang dianggap belum sepenuhnya dipertimbangkan, seperti aspek historis keberadaan gereja lama hingga dugaan pelanggaran nilai leluhur setempat.

“Beberapa perwakilan keluarga menganggap FKUB kurang memperhatikan sejarah berdirinya gereja lama di kawasan itu, dan mengkhawatirkan potensi pelanggaran nilai leluhur,” tambahnya.

Isu dugaan adanya tindakan monologis atau praktik mengisolasi warga dalam proses administrasi pembangunan ikut mewarnai pertemuan. Namun tudingan tersebut tak disertai bukti.

Hendra menyebut, bahkan Kasat Intel Polresta Samarinda secara langsung meminta bukti konkret dalam forum pertemuan. Namun hingga rapat ditutup, tak ada satu pun bukti yang diserahkan.

“Kami terbuka untuk klarifikasi. Tapi kalau ada tuduhan, harus ada bukti. Sampai rapat ditutup, tidak ada bukti sama sekali,” ucapnya.

Situasi ini membuat proses dialog kian tidak produktif karena argumen-argumen yang muncul tidak dilandasi dokumen pendukung.

Polemik yang terus berlarut menimbulkan kekhawatiran tersendiri di kalangan tokoh masyarakat. Samarinda selama ini dikenal sebagai kota yang cukup harmonis dari sisi keragaman agama. Ketegangan berkepanjangan dikhawatirkan dapat menciptakan sekat sosial di tingkat warga.

“Kami menghormati hak masyarakat untuk menggugat. Tapi kami juga mengetuk hati nurani. Indonesia berdiri di atas keberagaman. Rumah ibadah seharusnya membawa kedamaian, bukan menjadi sumber mudarat,” katanya.

Sejumlah tokoh masyarakat yang hadir juga mengingatkan bahwa isu rumah ibadah selalu sensitif dan harus ditangani dengan kepala dingin. Mereka berharap semua pihak dapat kembali duduk bersama dengan lebih terbuka.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pemerintah kelurahan maupun kecamatan terkait langkah penyelesaian berikutnya. Jika gugatan PTUN benar-benar dilayangkan, proses hukum dipastikan akan memakan waktu panjang dan bisa berdampak terhadap dinamika sosial warga.

Sementara pihak Gereja Toraja tetap bersikap bahwa pembangunan semestinya dapat berjalan karena seluruh persyaratan telah terpenuhi sesuai ketentuan.

Di sisi lain, kelompok warga yang menolak tetap bersikukuh agar pembangunan ditunda sampai ada solusi yang mereka nilai adil. (SIK)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id