Surat Edaran Wali Kota Tak Digubris, Jasa Tukar Uang Ilegal di Samarinda Tetap Beroperasi

Masyarakat banyak yang memilih jasa penukaran uang di pinggir jalan. (Foto: Siko/Kaltimetam.id)

 Samarinda, Kaltimetam.id – Menjelang Lebaran, jasa penukaran uang pecahan kembali menjamur di sepanjang Jalan Slamet Riyadi, Kecamatan Sungai Kunjang, Kota Samarinda.

Puluhan pelaku jasa penukaran uang berjejer di tepi jalan menawarkan uang pecahan kecil untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang ingin memberikan angpao atau THR dalam bentuk uang baru.

Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru. Setiap tahun, praktik ini selalu muncul mendekati Hari Raya Idulfitri. Namun, yang menjadi sorotan adalah bahwa jasa penukaran uang ini dilakukan secara ilegal di pinggir jalan, meskipun Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda telah mengeluarkan larangan tegas terkait aktivitas tersebut.

Berdasarkan Surat Edaran (SE) Wali Kota Samarinda Nomor 300/0798/011.04, yang diterbitkan pada 24 Februari 2025, jasa penukaran uang di pinggir jalan dinyatakan ilegal karena berpotensi menimbulkan kemacetan, mengganggu ketertiban umum, dan berisiko bagi keamanan transaksi.

Namun, larangan ini seolah tidak berpengaruh. Pantauan di lapangan menunjukkan setidaknya 10 titik di sepanjang Jalan Slamet Riyadi yang masih dipenuhi oleh jasa penukaran uang pecahan, meskipun Satpol PP sudah berulang kali melakukan razia.

Kepala Satpol PP Samarinda, Anis Siwantini, mengakui bahwa pihaknya sudah beberapa kali melakukan razia untuk menertibkan praktik ini. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil maksimal karena para pelaku langsung melarikan diri setiap kali petugas datang.

“Setiap kami turun, mereka kabur. Kami pernah sampai kejar-kejaran ke Taman Bebaya. Begitu petugas turun dari mobil, mereka langsung lari membawa uangnya. Yang tertinggal hanya spanduk, meja, dan kursi kosong,” ujar Anis, Selasa (25/03/2025).

Menurutnya, dalam satu kali razia, jumlah pelaku yang beroperasi di sepanjang jalan bisa mencapai 12 hingga 15 orang. Mereka membawa uang pecahan dalam jumlah besar dan siap melayani pembeli dengan sistem potongan atau fee tertentu.

“Yang bisa kami sita hanya spanduk dan perlengkapan lainnya, sementara uangnya langsung mereka amankan. Kalau kami terus mengejar, malah makin membuat kemacetan,” tambahnya.

Bahkan, Satpol PP pernah mencoba strategi baru dengan tidak mengenakan seragam resmi saat patroli. Namun, tetap saja para pelaku dapat mengetahui keberadaan mereka.

“Kami pernah turun tanpa atribut resmi, berpura-pura sebagai warga biasa. Tapi begitu kami keluar dari mobil, mereka sudah tahu dan langsung kabur. Seolah-olah ada yang mengawasi pergerakan kami,” ungkapnya.

Salah satu penyebab utama mengapa praktik ini sulit dihentikan adalah tidak adanya sanksi tegas.

“Di dalam surat edaran itu tidak ada sanksi hukumnya. Tidak ada perda atau perwali yang bisa menjerat mereka secara hukum. Jadi yang bisa kami lakukan hanya teguran dan pembinaan,” jelas Anis.

Jika pelaku terus mengulanginya, Satpol PP hanya bisa menyita spanduk dan barang-barang lain yang digunakan untuk berjualan. Dalam beberapa kasus, pelaku bisa dikenakan proses PPUD di persidangan, tetapi langkah ini tidak cukup membuat mereka jera.

“Kalau ketahuan pertama kali, kami hanya memperingatkan. Tapi kalau sudah dua atau tiga kali, kami angkut perlengkapannya. Proses hukum yang panjang juga membuat banyak orang tetap nekat melakukannya,” katanya.

Tanpa sanksi tegas, para pelaku terus kembali beroperasi setelah razia selesai.

“Kami tertibkan, mereka kembali! Begitu terus. Kalau kami bertindak lebih keras, nanti malah viral seolah-olah Satpol PP menindas rakyat kecil,” imbuhnya.

Meskipun Satpol PP terus melakukan penertiban, keberadaan jasa penukaran uang di pinggir jalan tampaknya masih akan terus berlanjut setiap tahunnya jika tidak ada solusi yang lebih baik.

Menurut Anis, salah satu faktor yang membuat jasa ini tetap marak adalah karena keterbatasan layanan dari bank.

“Pembatasan dari bank juga jadi salah satu faktor. Animo masyarakat untuk menukar uang itu tinggi, tapi fasilitasnya terbatas. Harusnya ada solusi lain,” katanya.

Ia berharap Bank Indonesia dan pihak perbankan bisa menyediakan lebih banyak lokasi resmi untuk penukaran uang dengan sistem yang lebih mudah dan fleksibel.

“Kalau masyarakat bisa menukar uang dengan mudah di bank, pasti mereka tidak akan cari jalan pintas ke pinggir jalan,” tutupnya.

Di sisi lain, meskipun dilarang, masyarakat justru merasa terbantu dengan adanya jasa penukaran uang ini. Banyak warga mengeluhkan sulitnya menukarkan uang kecil melalui jalur resmi seperti perbankan.

Salah satu warga, Kin (25), mengaku bahwa sistem penukaran uang melalui bank sering kali penuh dan kuota cepat habis.

“Rasanya kayak war tiket konser, slotnya cepat banget habis. Kalau ke bank, antreannya panjang dan jumlah yang bisa ditukar terbatas. Jadi terpaksa tukar di sini walaupun ada potongan,” ujarnya.

Sebagaimana diketahui, Bank Indonesia (BI) memang membatasi jumlah penukaran uang hingga Rp4,3 juta per orang dengan jumlah lembar yang juga dibatasi.

Ketentuannya yaitu Rp1.000, Rp2.000, dan Rp10.000 maksimal 100 lembar per orang, Rp5.000 maksimal 200 lembar per orang, Rp20.000 maksimal 25 lembar per orang, Rp50.000 maksimal 30 lembar per orang.

Sistem ini dianggap tidak fleksibel bagi warga yang membutuhkan uang pecahan dalam jumlah lebih banyak. Oleh karena itu, mereka memilih jalan pintas dengan menukarkan uang di pinggir jalan, meskipun harus membayar biaya jasa sebesar Rp5.000 hingga Rp15.000 per Rp100.000.

“Memang mahal, tapi setidaknya bisa dapat uang kecil dalam jumlah banyak. Ini hanya untuk menutupi kekurangan kemarin saja,” tambahnya.

Karenanya, ia sangat berharap sistem penukaran uang di tahun mendatang lebih baik dan jumlah uang yang bisa ditukarkan lebih besar.

“Kalau hanya pakai slot dari bank saja kemarin tidak cukup, paling tidak sekitar Rp5 juta saya tukar uang kecil setiap tahun,” pungkasnya. (SIK)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id

Exit mobile version