Samarinda, Kaltimetam.id – Upaya memperkuat pendidikan inklusif kembali mengemuka dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas).
Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menegaskan bahwa regulasi yang saat ini berjalan masih memiliki celah dalam menjamin hak pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Karena itu, DPR mendorong agar RUU Sisdiknas menyertakan satu bab khusus yang secara komprehensif mengatur pendidikan inklusif.
Ia menyebutkan, banyak aturan strategis yang seharusnya menjadi fondasi pendidikan inklusif justru belum tercantum dalam undang-undang yang berlaku saat ini. Padahal, menurutnya, kebutuhan tersebut semakin mendesak seiring tumbuhnya kesadaran masyarakat, terutama orang tua, untuk memberikan hak pendidikan kepada anak-anak penyandang disabilitas maupun mereka yang memiliki kecerdasan atau bakat istimewa.
“Ada aturan strategis yang sebelumnya tidak ada di dalam UU Sisdiknas existing. Karena itu, kami mengusulkan satu bab khusus tentang inklusivitas agar hak semua anak benar-benar terjamin,” ujarnya.
Hetifah menilai bahwa perubahan cara pandang masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus merupakan momentum penting bagi negara untuk berbenah. Ia menuturkan bahwa jika dulu banyak orang tua memilih menyembunyikan anak dengan disabilitas di rumah karena stigma sosial, kini semakin banyak keluarga yang mengupayakan agar anak-anak mereka dapat mengenyam pendidikan formal.
Namun, peningkatan kesadaran ini harus didukung kesiapan sistem. Ia menegaskan bahwa sekolah harus memiliki sarana, prasarana, serta mekanisme pembelajaran yang ramah bagi peserta didik berkebutuhan khusus.
“Kesadaran orang tua meningkat, dan ini harus dibarengi dengan kesiapan negara. Jangan sampai mereka ingin menyekolahkan anaknya, tetapi sekolah tidak siap. Kita tidak hanya bicara sarpras yang inklusif, tetapi juga guru-guru yang harus mampu mendampingi mereka dengan baik,” tegasnya.
Salah satu persoalan utama yang disoroti Hetifah adalah minimnya guru pendamping berkualitas di sekolah inklusi. Di banyak daerah, sekolah yang telah ditetapkan sebagai sekolah inklusi belum memiliki tenaga pendidik yang kompeten menangani anak berkebutuhan khusus. Akibatnya, implementasi pendidikan inklusif sering kali hanya menjadi formalitas.
Ia juga menyoroti ketidakharmonisan tata kelola antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Saat ini, SLB dikelola oleh provinsi, sementara pendidikan dasar (SD dan SMP) berada di bawah kewenangan kabupaten/kota. Kekosongan koordinasi ini, menurutnya, dapat menyebabkan layanan pendidikan bagi anak disabilitas tidak berjalan secara terpadu.
“Peran provinsi dalam mengelola SLB harus disinkronkan dengan layanan pendidikan di SD dan SMP. Jangan sampai anak-anak disabilitas di sekolah reguler terabaikan karena tumpang tindih kewenangan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Hetifah menegaskan bahwa penyusunan RUU Sisdiknas harus menjadi momentum memperbaiki ketimpangan layanan pendidikan inklusif di Indonesia. Ia mengingatkan bahwa pendidikan inklusif bukan sekadar pilihan, melainkan mandat negara untuk memastikan tidak ada anak yang tertinggal, apa pun kondisi fisik maupun kecerdasannya.
“Pendidikan adalah hak asasi. Kita harus memastikan seluruh anak, terutama yang paling rentan, mendapatkan kesempatan berkembang. Negara tidak boleh abai,” ujarnya.
Ia berharap penguatan aturan dalam RUU Sisdiknas dapat menjadi fondasi regulasi yang jelas, terukur, dan dapat diimplementasikan secara konsisten di seluruh daerah.
“RUU ini harus mencerminkan wajah pendidikan yang berkeadilan. Tidak boleh ada lagi anak yang ditinggalkan, baik karena disabilitas maupun kebutuhan khusus lainnya,” pungkasnya. (SIK)
Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id
