Krisis Ketimpangan Stunting di Kaltim Kian Lebar, Empat Daerah Jadi Sorotan Utama

Wakil Gubernur Kaltim, Seno Aji. (Foto: Ree/Kaltimetam.id)

Samarinda, Kaltimetam.id – Kesenjangan angka stunting di Kalimantan Timur (Kaltim) semakin tampak jelas dan menjadi perhatian serius Pemerintah Provinsi. Bukan hanya karena prevalensi stunting yang masih tinggi, tetapi juga karena jurang perbedaan antar daerah yang semakin lebar.

Situasi ini mengemuka saat Wakil Gubernur Kaltim, Seno Aji, memimpin rapat koordinasi stunting bersama seluruh kabupaten/kota.

Dalam pertemuan di Ruang Ruhui Rahayu, Selasa lalu (18/11/2025), Seno Aji menyoroti ketidakseimbangan capaian antar wilayah. Di satu sisi, beberapa daerah mampu menekan stunting hingga di bawah rata-rata provinsi. Namun di sisi lain, empat daerah masih berkutat dengan angka yang jauh lebih tinggi dari standar nasional.

Data terbaru menunjukkan bahwa prevalensi stunting Kaltim kini berada di 22,2 persen. Angka ini turun tipis dari 22,9 persen, namun tetap belum mampu mendekati target nasional 19,8 persen. Bahkan, pemerintah pusat melalui Presiden Prabowo Subianto menargetkan angka 18 persen pada 2025 merupakan sebuah ambisi besar yang membutuhkan kekompakan seluruh daerah di Kaltim, terlebih dengan status provinsi ini sebagai penyangga utama Ibu Kota Nusantara (IKN).

“Kita pernah 22,9 persen yang kemudian saat ini kita sudah turun sedikit menjadi 22,2 persen,” kata Seno Aji.

Ketimpangan makin terlihat ketika data kabupaten/kota dipaparkan. Kutai Kartanegara berada di posisi terbaik dengan 14,2 persen. Di belakangnya menyusul Samarinda (20,3 persen) dan Bontang (20,7 persen). Ketiga wilayah ini menunjukkan bahwa penurunan stunting bukan mustahil dicapai dengan intervensi terarah.

Namun kontras yang mencolok terjadi di empat daerah lainnya. Kutai Timur mencatatkan 26,9 persen, Kutai Barat 27,6 persen, dan Balikpapan justru mengalami tren kenaikan tiga tahun berturut-turut hingga mencapai 24,7 persen. Paling mengkhawatirkan, Penajam Paser Utara (PPU) menembus angka 32 persen, tertinggi di Kaltim.

“Nah, ini perlu perhatian khusus agar supaya nanti tingkat prevalensi stunting kita benar-benar bisa dibawah rata-rata nasional,” ujarnya.

Pemerintah Provinsi menilai ketimpangan ini terjadi karena perbedaan kualitas layanan dasar, akses kesehatan, hingga kinerja intervensi yang belum merata.

Dalam paparannya, Seno Aji kembali menekankan dua jalur yang harus dipastikan berjalan simultan sebagaimana diatur dalam Perpres 72/2021.

Intervensi spesifik menjadi titik tekan pertama, terutama perbaikan gizi ibu hamil, pemantauan remaja putri, pemberian ASI eksklusif, imunisasi, dan penanganan gizi buruk.

Sementara intervensi sensitif melibatkan isu yang lebih luas: sanitasi, air bersih, pangan, pendidikan, hingga lingkungan sehat yang benar-benar bisa dipenuhi pemerintah daerah.

“Namun, yang terpenting adalah intervensi spesifik. Kita bisa melakukan hal ini, melalui beberapa OPD terkait di daerah masing-masing, agar intervensi spesifik ini dilakukan secara masif di daerahnya,” jelasnya.

Menurut Seno, kunci keberhasilan terletak pada koordinasi lintas sektor dan kehadiran pemerintah daerah dalam mengawal ibu hamil sejak awal. Tanpa itu, upaya yang dilakukan posyandu dan puskesmas tidak akan berjalan maksimal.

“Kita berharap bahwa tahun depan kami ingin nilai, nilai stunting di Kalimantan Timur benar-benar turun dan sesuai dengan prevalensi stunting nasional,” pungkasnya. (REE)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id

Exit mobile version