Samarinda, Kaltimetam.id – Gagasan reformasi sistem seleksi pendidikan kembali mencuat setelah Komisi X DPR RI menilai perlunya instrumen penilaian yang benar-benar objektif, terukur, dan seragam di seluruh Indonesia. Dalam pandangannya, Tes Kompetensi Akademik (TKA) berpotensi besar menjadi standar asesmen nasional yang lebih adil dibandingkan penggunaan rapor sekolah yang dinilai masih sarat subjektivitas dan ketimpangan standar.
Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menegaskan bahwa setiap mekanisme seleksi memang memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun, menurutnya, negara wajib menghadirkan sistem yang dapat menjamin integritas dan kejujuran proses seleksi pendidikan. TKA, kata dia, merupakan langkah maju menuju penilaian yang tidak hanya terstandar, tetapi juga minim potensi manipulasi.
“Tes kompetensi akademik ini sebenarnya sudah dirancang sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan adanya kecurangan. Instrumennya objektif dan dapat dipercaya,” ujarnya.
Selama ini, nilai rapor menjadi salah satu acuan dalam proses seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya, terutama pada sistem zonasi dan jalur prestasi. Namun ia menilai penggunaan rapor justru memunculkan ketidaksetaraan karena standar penilaian setiap sekolah berbeda-beda. Ada sekolah yang cenderung memberikan nilai tinggi, sementara sekolah lain lebih ketat dan konservatif dalam memberi penilaian.
“Rapor itu dibuat oleh sekolah masing-masing, dengan standar yang bisa sangat subjektif dan tidak seragam. Ini menciptakan ketidakadilan ketika dijadikan basis seleksi nasional,” tegasnya.
Dengan sifatnya yang berbasis pengukuran baku, TKA dipandang dapat menyamakan standar kompetensi siswa di seluruh Indonesia. Tes ini dirancang untuk mengukur kemampuan akademik secara langsung, sehingga hasilnya dianggap lebih akurat dan konsisten.
“Jika hasil TKA digunakan sebagai dasar seleksi pendidikan, maka prosesnya tidak lagi dipengaruhi standar sekolah masing-masing. Ini lebih objektif,” jelasnya.
Instrumen terstandar seperti TKA dinilai dapat mempersempit ketimpangan antar daerah, sekaligus menjadi acuan yang lebih kredibel dalam menentukan kesiapan siswa melanjutkan pendidikan.
Meski mendukung peran TKA, Hetifah mengingatkan bahwa penerapannya tidak boleh mengabaikan kesenjangan sarana prasarana pendidikan di berbagai daerah. Menurutnya, pemerintah harus menyiapkan kebijakan afirmasi agar siswa dari daerah terpencil tetap memiliki kesempatan yang sama.
“Kita perlu memastikan bagaimana anak-anak di daerah dengan fasilitas terbatas dapat bersaing secara adil. Afirmasi tetap harus dipertimbangkan,” ucapnya.
Lebih lanjut, Hetifah menyampaikan bahwa isu TKA akan menjadi salah satu agenda utama dalam rapat Komisi X DPR dengan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah pada 26 November 2025. Pertemuan itu akan membahas desain final TKA, mekanisme pelaksanaan, hingga kemungkinan penggunaannya sebagai dasar seleksi pendidikan formal.
“Nanti pada tanggal 26, kami akan bahas secara mendalam bersama Menteri. Setelah itu, tentu kami akan menyampaikan hasilnya kepada publik,” tegasnya.
Terakhir, Hetifah berharap penggunaan TKA dapat meningkatkan kualitas seleksi pendidikan sekaligus memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan nasional.
“Kita ingin proses seleksi yang adil, terukur, dan tidak menimbulkan kecurigaan apa pun. Itu tujuan utama kami,” pungkasnya. (SIK)
Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id
