Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Tertinggi di Kaltim, DPRD Samarinda Desak Penanganan hingga ke Akar Masalah

Ilustrasi kekerasan kepada anak.

Samarinda, Kaltimetam.id – Kota Samarinda kembali mencatatkan angka tertinggi dalam kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kalimantan Timur. Hingga Maret 2025, tercatat sebanyak 50 kasus terjadi di ibu kota provinsi tersebut.

Fakta ini menimbulkan keprihatinan mendalam dari berbagai pihak, termasuk DPRD Kota Samarinda yang mendesak pemerintah untuk melakukan langkah serius dan komprehensif dalam menangani persoalan tersebut.

Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Sri Puji Astuti, menyampaikan bahwa tingginya angka kekerasan tidak semata-mata mencerminkan situasi memburuk, namun juga dapat dilihat sebagai indikasi meningkatnya kesadaran masyarakat dalam melaporkan tindak kekerasan.

“Angka ini memang tinggi, tapi kita harus lihat sisi lainnya. Ini menunjukkan bahwa masyarakat mulai berani melapor. Ini adalah perubahan budaya yang penting,” ujarnya.

Meski begitu, ia menegaskan bahwa keberanian masyarakat untuk melapor harus diimbangi dengan penanganan yang nyata dan tuntas dari pihak berwenang. Ia mengingatkan agar laporan yang masuk tidak hanya berhenti di meja administrasi, melainkan harus ditindaklanjuti hingga korban mendapatkan perlindungan dan keadilan.

“Jangan sampai masyarakat sudah berani melapor, tapi kasusnya dibiarkan menggantung. Itu sangat berbahaya. Bisa menjadi bom waktu,” tegasnya.

Sri Puji juga menyoroti pentingnya edukasi kepada masyarakat dalam membangun sistem perlindungan yang efektif. Menurutnya, meskipun sistem dan regulasi sudah tersedia, jika masyarakat tidak memahami hak dan perlindungan yang dimilikinya, maka semua itu tidak akan berjalan maksimal.

“Aparat kita sudah cukup siap, regulasi sudah ada, dan lembaga perlindungan juga telah dibentuk. Tapi tanpa keterlibatan dan pemahaman masyarakat, semuanya bisa jadi tidak efektif. Edukasi adalah kunci,” jelasnya.

Ia mendorong agar edukasi dan sosialisasi dilakukan secara berkelanjutan, tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga melalui kerja sama dengan tokoh masyarakat, lembaga pendidikan, dan organisasi sosial.

Politikus dari Partai Demokrat ini menekankan bahwa penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak bisa dilakukan secara parsial. Menurutnya, pendekatan yang digunakan harus menyentuh seluruh aspek, mulai dari regulasi, peran serta masyarakat, hingga penguatan kelembagaan.

“Masalah ini harus ditangani secara menyeluruh. Pemerintah perlu memperkuat regulasi, masyarakat perlu dilibatkan, dan lembaga-lembaga pendukung juga harus diperkuat, baik dari sisi sumber daya manusia maupun infrastruktur,” katanya.

Lebih lanjut, Sri Puji juga menyoroti keberadaan rumah aman (shelter) yang dikelola UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di Samarinda. Meskipun mengapresiasi adanya fasilitas tersebut, ia menilai rumah aman yang ada saat ini belum sepenuhnya memenuhi standar ideal.

“Dari sisi PPA, mungkin rumah aman itu sudah dianggap baik. Tapi kami melihat masih banyak kekurangan. Rumah aman seharusnya berada di lingkungan yang benar-benar steril, aman, dan rahasia. Harus ada petugas keamanan khusus, bahkan bisa dikelola dengan sistem seperti rumah sakit,” terangnya.

Selain dari sisi keamanan, ia juga menilai lokasi rumah aman perlu dipertimbangkan lebih strategis. Menurutnya, rumah aman ideal harus memiliki akses mudah ke layanan kesehatan, pendidikan, serta dukungan sosial lainnya agar korban dapat menjalani proses pemulihan secara menyeluruh.

“Rumah aman tidak hanya tempat perlindungan sementara, tetapi juga harus menjadi ruang rehabilitasi. Korban butuh pendampingan medis, psikologis, dan sosial. Untuk itu, lokasinya harus mendukung akses ke fasilitas-fasilitas tersebut,” imbuhnya.

Secara demografis, tingginya jumlah penduduk di Samarinda disebut menjadi salah satu faktor yang memengaruhi tingginya angka kasus. Namun, Sri Puji menilai bahwa meningkatnya pelaporan justru menjadi tanda bahwa masyarakat semakin sadar dan tidak lagi takut membuka suara.

“Ini bisa disebut anomali. Dulu banyak kasus yang terjadi tapi tidak terungkap ke publik. Sekarang masyarakat sudah lebih terbuka, sosialisasi berjalan lebih baik. Ini adalah kemajuan yang patut kita jaga,” tuturnya.

Ia menutup pernyataannya dengan kembali menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dan keseriusan pemerintah dalam membangun sistem perlindungan yang kuat dan responsif.

“Ini bukan hanya tugas Dinas PPA. Ini tugas kita semua pemerintah, DPRD, masyarakat, lembaga swadaya, bahkan dunia usaha. Kita harus bergerak bersama, karena yang kita lindungi adalah masa depan generasi kita,” pungkasnya. (Adv/DPRDSamarinda/SIK)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id