Samarinda, Kaltimetam.id – Sebuah insiden serius kembali mengguncang perairan Sungai Mahakam. Sebuah kapal milik PT Energi Samudra Logistic (ESL) menabrak struktur Jembatan Mahakam I pada Sabtu malam (26/4/2025), sekitar pukul 23.30 Wita. Kepala KSOP Kelas I Samarinda, Mursidi, memastikan kapal tersebut tengah beroperasi di luar waktu dan zona navigasi yang telah ditetapkan secara resmi.
Ditemui usai rapat dengar pendapat bersama Komisi II DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) pada Senin malam (28/4/2025), Mursidi menegaskan bahwa pelayaran kapal tersebut tidak sesuai dengan jadwal pengolongan yang diatur.
“Kapal itu tidak masuk dalam daftar pengolongan resmi. Operasinya terjadi di luar jam serta area tambat yang diperkenankan,” ungkapnya.
Sebagai informasi, KSOP menerapkan dua waktu khusus untuk proses pengolongan, yakni saat kapal melintasi di bawah jembatan mengikuti kondisi pasang surut air sungai. Slot waktu tersebut terbagi menjadi dua sesi: pagi hari dari pukul 06.00 hingga 10.00 Wita, dan sore hari pukul 16.00 hingga 18.00 Wita. Di luar waktu tersebut, hanya pengolongan naik yang diperbolehkan, itupun secara terbatas.
“Pukul 23.30 jelas-jelas bukan waktu resmi untuk aktivitas pelayaran. Kecelakaan itu terjadi karena kapal melanggar prosedur,” ujar Mursidi.
Ia menekankan bahwa penyesuaian waktu pelayaran sangat penting untuk menghindari kecelakaan, mengingat dinamika pasang surut Sungai Mahakam.
Menurutnya, keberadaan area tambat dan labuh kapal memiliki fungsi penting sebagai tempat menunggu waktu pengolongan yang sesuai. Area ini dirancang agar kapal tidak melintas secara sembarangan, terutama saat kondisi air belum memungkinkan.
Namun, ia juga menyoroti masalah serius lain, yaitu terkait pengelolaan area tambat oleh pihak non-pemerintah.
“Banyak area tambat yang saat ini dikelola masyarakat tanpa pengawasan resmi. Padahal, jika dikelola dengan sistematis oleh pemerintah daerah melalui badan usaha milik daerah, ini bisa jadi sumber PAD yang besar,” jelasnya.
Kapal yang menambatkan diri biasanya harus membayar sejumlah biaya, namun dana tersebut tak mengalir ke kas daerah, melainkan ke individu atau kelompok tertentu. Hal ini dinilai sebagai bentuk kebocoran potensi pendapatan daerah.
“Kalau pemerintah daerah serius mengatur dan menarik retribusi dari tempat tambat kapal, bisa kita kelola dengan perusda dan hasilnya masuk ke PAD. Ini peluang yang sayang sekali jika terus dibiarkan,” tambahnya.
Mursidi pun berharap ada sinergi konkret antara KSOP dan Pemda dalam pengelolaan kawasan tambat dan labuh kapal secara legal dan terstruktur. Menurutnya, kerja sama tersebut dapat membuka jalan bagi penguatan sistem pengawasan dan peningkatan pendapatan daerah dari sektor perairan. (REE)
Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id