Samarinda, Kaltimetam.id – Kota Samarinda kembali dihadapkan pada persoalan klasik yang hingga kini belum menemukan solusi konkret, yakni maraknya aksi balapan liar di sejumlah ruas jalan utama.
Setiap malam, terutama pada akhir pekan, kawasan seperti Jalan Pahlawan, Jalan RE Martadinata, dan Tepian Mahakam berubah menjadi arena adu kecepatan bagi kelompok remaja dan pemuda yang haus sensasi.
Mereka melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi tanpa memedulikan keselamatan diri maupun pengguna jalan lain. Aktivitas ini tidak hanya membahayakan pengendara, tetapi juga menimbulkan keresahan mendalam bagi warga sekitar yang harus berhadapan dengan suara bising dan ancaman kecelakaan setiap malam.
Kegiatan balapan liar di Samarinda telah berlangsung cukup lama dan menjadi semacam budaya jalanan di kalangan anak muda yang ingin mencari hiburan dan pengakuan. Ironisnya, kegiatan tersebut dilakukan di ruang publik yang semestinya menjadi fasilitas umum bagi semua warga.
Para pelaku sering kali memanfaatkan waktu malam hingga dini hari ketika jalanan mulai sepi dari kendaraan lain untuk menggelar aksi mereka. Tidak sedikit masyarakat mengaku harus menghindari jalur-jalur tertentu pada jam-jam tersebut karena takut terjadi kecelakaan akibat aksi ugal-ugalan para pembalap ilegal. Situasi ini jelas mengganggu kenyamanan, keamanan, dan ketertiban lalu lintas di jantung kota.
Penegakan hukum terhadap balapan liar di Samarinda sebenarnya sudah memiliki dasar hukum nasional, yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam Pasal 115 huruf b, disebutkan bahwa pengemudi kendaraan bermotor dilarang berbalapan di jalan umum, sedangkan Pasal 297 mengatur bahwa pelanggar dapat dijatuhi pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda maksimal tiga juta rupiah. Namun, dalam praktiknya, hukum nasional ini belum berjalan optimal di tingkat daerah. Hingga kini, Pemerintah Kota Samarinda belum memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang secara khusus mengatur penertiban balapan liar. Akibatnya, aparat kepolisian hanya dapat bertindak sementara melalui razia dan penyitaan kendaraan tanpa landasan kebijakan lokal yang kuat.
Ketiadaan Perda menyebabkan upaya penanganan balapan liar bersifat reaktif dan tidak berkelanjutan. Setelah razia digelar, aksi serupa biasanya muncul kembali di lokasi berbeda. Aparat penegak hukum menghadapi keterbatasan wewenang dalam memberikan sanksi yang lebih mendidik atau membina. Sementara itu, fenomena ini terus berkembang karena banyak remaja yang menjadikan balapan liar sebagai ajang eksistensi sosial. Kurangnya ruang ekspresi dan wadah olahraga otomotif yang legal turut memperburuk keadaan, membuat jalan raya menjadi satu satunya tempat mereka menyalurkan adrenalin.
Berbagai pihak, termasuk tokoh masyarakat dan akademisi, mendesak agar Pemerintah Kota Samarinda bersama DPRD segera merumuskan regulasi daerah yang mampu menjawab fenomena ini secara menyeluruh. Kebijakan tersebut tidak hanya harus menekankan aspek penegakan hukum dan sanksi, tetapi juga perlu menyentuh sisi sosial dan edukatif. Remaja yang terlibat dalam balapan liar seharusnya diarahkan pada kegiatan positif seperti kompetisi otomotif resmi, pelatihan keselamatan berkendara, atau pembinaan melalui komunitas otomotif lokal. Dengan demikian, kebijakan yang lahir bukan sekadar hukuman, melainkan sarana pembinaan moral dan kedisiplinan generasi muda.
Fenomena balapan liar di Samarinda sejatinya mencerminkan adanya kesenjangan antara kebutuhan sosial masyarakat muda dengan ketersediaan kebijakan publik yang adaptif. Selama pemerintah daerah belum menunjukkan komitmen dalam membentuk regulasi yang jelas, aktivitas berisiko ini akan terus menghantui jalanan kota. Diperlukan sinergi antara aparat penegak hukum, pemerintah, lembaga pendidikan, serta masyarakat untuk menciptakan ekosistem lalu lintas yang aman, tertib, dan beradab. Penegakan hukum yang tegas harus berjalan seiring dengan pendidikan karakter dan penyediaan ruang alternatif bagi anak muda agar semangat kompetitif mereka tersalurkan pada jalur yang tepat.
Sudah saatnya Pemerintah Kota Samarinda tidak lagi memandang balapan liar sebagai pelanggaran sepele yang bisa ditangani dengan razia sesaat. Fenomena ini adalah persoalan sosial yang menuntut pendekatan kebijakan menyeluruh berbasis hukum, pendidikan, dan pemberdayaan. Jika dibiarkan tanpa solusi konkret, risiko kehilangan nyawa di jalan raya bukan hanya menimpa pelaku, tetapi juga masyarakat yang tidak bersalah. Dengan langkah nyata dan peraturan yang tegas, Samarinda dapat kembali menjadi kota yang aman dan tertib, di mana jalanan digunakan sebagaimana mestinya bukan sebagai arena balap yang mengancam keselamatan publik. (ARSYA)
Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id
