Samarinda, Kaltimetam.id – Bayang-bayang pengetatan fiskal mulai menyelimuti Kalimantan Timur (Kaltim) menjelang tahun anggaran 2026. Rencana pemerintah pusat untuk memangkas Transfer ke Daerah (TKD) memantik kekhawatiran, terutama karena provinsi penghasil batu bara terbesar di Indonesia itu selama ini menjadi kontributor utama penerimaan negara dari sektor sumber daya alam.
Dampak langsung dari kebijakan tersebut mulai terasa pada pembahasan internal Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim. Salah satu pos yang kini menjadi sorotan utama ialah Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Besarnya nilai TPP dinilai berpotensi membebani anggaran jika dana transfer dari pusat benar-benar berkurang drastis.
Wakil Gubernur Kaltim, Seno Aji, tidak menampik hal itu. Ia menegaskan bahwa jika pemangkasan TKD mencapai separuh dari alokasi saat ini, maka TPP akan menjadi komponen pertama yang disesuaikan.
“Pemangkasan pasti akan dilakukan, namun kebijakan ini harus dibicarakan secara matang bersama seluruh ASN karena situasi keuangan daerah saat ini memang tidak ideal,” ujarnya, Senin (6/10/2025).
Menurut data dalam Keputusan Gubernur Kaltim Nomor 100.3.3.1/K.731/2023, besaran TPP ASN Pemprov Kaltim memang tergolong tinggi.
Sekretaris Daerah, misalnya, bisa menerima hingga Rp99 juta per bulan, sementara pejabat eselon lain seperti Inspektur, Asisten, Kepala Badan, dan Direktur RSUD kelas A memperoleh TPP puluhan juta rupiah.
Kondisi ini kemudian memicu kritik publik karena dinilai tidak sejalan dengan realitas fiskal daerah yang sedang ketat.
Seno pun tak menutup kemungkinan bahwa proyek-proyek strategis daerah juga akan dievaluasi ulang sebagai langkah efisiensi.
“Bukan hanya TPP, beberapa proyek strategis juga akan dievaluasi. Bila perlu, sebagian bisa ditunda atau dihapus untuk menjaga keseimbangan anggaran,” jelasnya.
Namun demikian, ia menegaskan bahwa program prioritas seperti pendidikan gratis dan layanan kesehatan gratis tetap akan dijalankan sesuai komitmen pemerintah provinsi.
“Program prioritas harus tetap berjalan. Pendidikan gratis dan layanan kesehatan gratis menjadi janji kami kepada masyarakat, dan itu wajib dipertahankan,” tegasnya.
Kekhawatiran semakin besar setelah terbitnya Rancangan Alokasi TKD Tahun Anggaran 2026 dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan.
Dalam dokumen tersebut, Kaltim hanya diproyeksikan menerima Rp2,49 triliun Dana Transfer Umum (DTU), jauh menurun dibanding tahun sebelumnya.
Rinciannya antara lain DBH Migas Rp48 miliar, Minerba Rp1,19 triliun, Dana Reboisasi Rp51 miliar, serta Dana Alokasi Umum (DAU) sekitar Rp866 miliar.
“Langkah efisiensi harus dilakukan dengan cermat. Anggaran yang tidak mendesak bisa kita tunda pelaksanaannya hingga tahun berikutnya,” sambung Seno.
Sementara itu, sejumlah tokoh masyarakat dan mantan pejabat daerah yang tergabung dalam Forum Rumah Rakyat Kaltim Bersatu (FRKB) turut menyuarakan keberatan terhadap kebijakan pemangkasan ini.
Mereka berinisiatif membantu pemerintah daerah menjalin komunikasi politik dengan anggota DPD RI asal Kaltim agar kebijakan tersebut bisa dikaji ulang.
“Mereka ingin membantu melakukan komunikasi politik ke tingkat pusat melalui para senator Kaltim, seperti Bang Henock, Haji Mirni, Pak Sofyan, dan Ibu Sinta Rosma,” terang Seno.
Bagi sebagian masyarakat, rencana pengurangan dana transfer terasa ironis. Kaltim, yang selama ini dikenal sebagai ‘lumbung energi nasional’, justru menghadapi keterbatasan fiskal di saat kontribusinya terhadap pendapatan negara masih besar.
Karena itu, jika pemangkasan benar-benar terjadi, Pemprov berencana melakukan rasionalisasi anggaran besar-besaran, memperketat prioritas, dan menunda program yang belum mendesak.
“Kita akan duduk bersama DPRD untuk menentukan pos anggaran yang bisa ditunda. Hanya program vital yang akan dipertahankan agar roda pemerintahan tetap berjalan,” tutupnya. (REE)
Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id