Samarinda, Kaltimetam.id – Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM (Disperindagkop UKM) Kalimantan Timur mengungkap hasil mengejutkan dari uji mutu terhadap beras yang beredar di pasaran. Dari total 17 sampel yang diperiksa dalam dua tahap, hanya satu yang lolos uji sesuai dengan ketentuan standar.
Temuan ini memperlihatkan bahwa mayoritas produk beras yang dijual di wilayah Kaltim masih belum memenuhi kualitas yang semestinya. Pemerintah pun menilai perlu adanya pengawasan lebih ketat, serta penguatan regulasi dari hulu ke hilir agar mutu dan keterjangkauan harga tetap terjaga.
“Hari ini kita press conference untuk lanjutan hasil pengujian beras yang sudah kita lakukan hari kemarin,” ujar Kepala Disperindagkop UKM Kaltim, Heni Purwaningsih dalam konferensi pers, Kamis (7/8/2025).
Ia menjelaskan bahwa pengujian sebelumnya mencakup tujuh sampel, lalu ditambah sepuluh sampel baru yang diambil dari berbagai distributor dan pengecer. Proses pengawasan dilakukan menyeluruh, namun hasilnya memperlihatkan sebagian besar produk belum sesuai.
Kondisi ini langsung menjadi perhatian karena menyangkut kebutuhan pokok masyarakat. Terlebih, sebagian besar beras tersebut dikonsumsi oleh kalangan menengah ke bawah yang rentan terhadap kenaikan harga dan buruknya kualitas.
“Press conference pertama ada 7 sampel beras yang kita rilis, kemudian hari ini ada 10 sampel beras yang kita rilis hasil pengujiannya,” ungkap Heni.
Sebagai tindak lanjut, Disperindagkop UKM akan merapatkan hasil pengujian bersama tim pengawasan terpadu. Meski demikian, penarikan produk dari pasaran belum akan dilakukan dalam waktu dekat karena masih menunggu arahan dari pemerintah pusat.
Pemerintah pusat dianggap memiliki peran krusial dalam mengatur kebijakan nasional soal bahan pokok, termasuk beras. Apalagi, isu ini kini sudah menjadi perhatian di tingkat nasional dan berpotensi berpengaruh pada stabilitas pasar pangan.
“Karena isu beras ini sudah menjadi isu nasional dan pasti dari kementerian terkait sedang merumuskan bagaimana kebijakan untuk tindak lanjut dari hasil pengawasan,” lanjutnya.
Disperindagkop juga menyatakan bahwa pihaknya tidak ingin gegabah dalam mengambil langkah penarikan produk karena mempertimbangkan ketersediaan beras di masyarakat. Pemerintah tidak ingin mengorbankan pasokan demi tindakan cepat yang tidak sistematis.
Namun begitu, produsen dan distributor tetap akan mendapat surat peringatan resmi. Langkah ini diambil untuk memastikan semua pihak melakukan penyesuaian terhadap mutu beras yang mereka edarkan.
“Kita sudah sampaikan bahwa untuk yang sudah beredar, kemungkinan kita belum mengambil tindakan penarikan secara langsung,” tegasnya.
Selain soal mutu, pemerintah juga mendorong pelaku usaha untuk memenuhi standar pengemasan dan pelabelan. Semua produk yang dikemas dan dijual ke publik harus memiliki informasi yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.
Masalahnya, banyak beras yang masuk ke Kaltim dalam bentuk curah lalu dikemas ulang secara lokal tanpa pengawasan ketat. Padahal, kualitas produk kemasan seharusnya dijamin oleh pihak produsen atau pengemas.
“Perusahaan-perusahaan, distributor, ataupun pedagang-pedagang itu sudah memperdagangkan beras dalam kemasan sesuai dengan ketentuan dan aturan yang berlaku,” jelas Heni.
Lebih lanjut, Heni mengungkap bahwa pasokan beras di Kalimantan Timur sebagian besar masih berasal dari luar daerah. Jawa dan Sulawesi menjadi dua wilayah pemasok utama, baik dalam bentuk beras kemasan maupun beras curah.
Beberapa beras yang beredar memang dikemas ulang di Kaltim, tetapi bukan berasal dari hasil pertanian lokal. Hal inilah yang membuat istilah ‘beras lokal’ kadang membingungkan masyarakat.
“Yang saya maksud lokal itu adalah beras yang dikemas di lokal,” katanya.
Di sisi lain, Heni mengakui bahwa Kaltim sebenarnya memiliki beberapa sentra produksi beras seperti Penajam Paser Utara, Kutai Kartanegara, dan Kutai Timur. Namun sayangnya, kapasitas produksi dari wilayah-wilayah ini masih sangat terbatas.
Ketersediaan beras lokal belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi secara menyeluruh. Pemerintah pun belum menemukan merek dagang yang benar-benar menggunakan 100 persen beras hasil panen Kalimantan Timur.
“Jumlahnya masih sangat terbatas dan belum mencukupi kebutuhan seluruh masyarakat Kalimantan Timur,” ujarnya.
Saat disinggung penyebab dari banyaknya sampel yang tidak lolos uji, Heni menilai hal itu disebabkan belum terbentuknya ekosistem perdagangan pangan yang ideal. Ia menegaskan perlunya aturan ketat yang harus dijalankan semua pihak secara konsisten.
Menurutnya, semua mata rantai distribusi, dari petani, produsen, hingga pengawas lapangan, harus terlibat aktif dalam menjamin mutu. Jika tidak, produk pangan akan terus beredar tanpa standar yang jelas.
“Menurut saya ekosistem perdagangan yang mungkin perlu ada aturan yang lebih ketat dan lebih jelas,” tegasnya.
Masalah lain yang turut mempengaruhi adalah harga beras premium di pasaran Kaltim yang jauh di atas harga eceran tertinggi nasional. Beras subsidi dari program SPHP memang tersedia, namun terbatas dalam jumlah dan jangkauan.
Beras-beras premium lebih dipengaruhi mekanisme pasar serta biaya logistik yang tinggi. Kalimantan Timur yang merupakan daerah konsumen sangat bergantung pada distribusi dari luar pulau dengan ongkos kirim mahal.
“Beras SPHP itu beras penugasan, di situ ada kebijakan, ada subsidi pemerintah terhadap beras SPHP tersebut,” jelas Heni.
Ia menyebut bahwa posisi geografis Kalimantan Timur serta infrastruktur distribusi yang belum memadai menjadi faktor utama yang membuat harga beras di wilayah ini melonjak. Kondisi ini jauh berbeda dengan daerah penghasil seperti Jawa atau Sulawesi.
Hasil pemantauan menunjukkan bahwa harga beras di Kaltim terus berada di atas rata-rata harga nasional. Bahkan, sebagian produk premium dijual dengan harga jauh melampaui HET yang ditetapkan pemerintah pusat.
“Faktor-faktor tersebut saya kira juga menentukan karena ini proses bisnis menentukan berapa harga HPP yang harus ditanggung oleh seorang distributor,” tutupnya. (REE)
Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id