Samarinda, Kaltimetam.id – Insiden tabrakan kapal tongkang bermuatan batu bara kembali terjadi di Jembatan Mahakam I, Kalimantan Timur. Peristiwa pada Sabtu (26/4) sekitar pukul 23.30 WITA itu tercatat sebagai kejadian ke-23, menegaskan bahwa masalah keselamatan pelayaran di Sungai Mahakam masih menjadi pekerjaan rumah serius bagi negara.
Tak hanya Jembatan Mahakam I, Jembatan Mahulu juga kembali disorot. Jembatan ini dua kali ditabrak kapal tongkang dalam kurun waktu singkat, terakhir pada Selasa (23/12/2025) sekitar pukul 05.00 WITA.
Rentetan kejadian tersebut memicu kekhawatiran publik atas keselamatan infrastruktur vital dan efektivitas pengawasan pelayaran sungai yang menopang distribusi logistik Kalimantan Timur.
Selama ini, penyelesaian kasus tabrakan jembatan oleh kapal tongkang kerap berhenti pada kewajiban ganti rugi fisik, seperti perbaikan fender dan pilar. Namun, pendekatan tersebut dinilai tidak lagi memadai mengingat frekuensi kejadian yang terus berulang. Tanpa sanksi tegas, tabrakan berpotensi dianggap sebagai risiko bisnis biasa oleh pelaku usaha.
Pengamat maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center, Dr Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, menilai sanksi sebatas ganti rugi justru berbahaya karena menghilangkan efek jera.
“Jika hanya mengganti fender atau pilar yang rusak, perusahaan pemilik kapal akan memandangnya sebagai bagian dari biaya operasional. Ini tidak menyentuh akar masalah dan tabrakan akan terus berulang,” ujarnya.
Menurutnya, rangkaian insiden tersebut bukan sekadar kecelakaan, melainkan indikasi pelanggaran serius terhadap keselamatan pelayaran. Ia menegaskan bahwa tabrakan berulang pada objek vital negara bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Hakeng merujuk Pasal 122 UU Pelayaran yang mewajibkan setiap pengoperasian kapal dan pelabuhan memenuhi persyaratan keselamatan, keamanan, dan perlindungan maritim. Dengan insiden yang terjadi berulang di lokasi strategis, kewajiban tersebut dinilai tidak terpenuhi.
“Karena itu, Pasal 303 ayat (1) dan (2) harus bisa diterapkan. Ini menyangkut sanksi pidana atas pelanggaran keselamatan pelayaran, bukan hanya urusan ganti rugi,” tegasnya.
Selain pidana, ia mendorong penerapan sanksi administratif berlapis, termasuk pembekuan hingga pencabutan izin operasi perusahaan pelayaran yang kapalnya menabrak jembatan akibat kelalaian.
“Pembekuan izin operasi adalah instrumen paling efektif. Jika satu kali kelalaian berujung penghentian bisnis, standar keselamatan akan dipatuhi dengan sungguh-sungguh,” katanya.
Lebih jauh, Hakeng menilai negara juga memiliki dasar untuk menuntut kerugian ekonomi secara luas atau kerugian imaterial. Menurutnya, dampak tabrakan jembatan tidak berhenti pada kerusakan fisik, melainkan meluas pada gangguan konektivitas warga dan distribusi logistik regional.
“Kerusakan jembatan mengganggu aktivitas masyarakat dan ekonomi Kalimantan Timur. Negara harus menuntut kerugian imaterial, bukan hanya beton yang retak,” ucapnya.
Ia juga menyoroti lambannya perbaikan fender dan sistem pengaman jembatan yang kerap memakan waktu berbulan-bulan, sementara lalu lintas tongkang tetap berjalan normal.
“Jangan biarkan perbaikan tertunda lama sementara risiko kerusakan struktural jembatan terus menghantui. Ini menyangkut keselamatan publik, bukan sekadar aset,” tutupnya. (SIK)
Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id







