Samarinda, Kaltimetam.id – Insiden kapal tongkang yang kembali menabrak Jembatan Mahulu menambah daftar panjang kecelakaan pelayaran di Sungai Mahakam, jalur logistik utama di Kalimantan Timur. Peristiwa tersebut terjadi pada Selasa (23/12/2025) sekitar pukul 05.00 WITA di kawasan Loa Buah, Kota Samarinda, dan saat ini masih dalam penanganan aparat kepolisian perairan bersama instansi teknis terkait.
Tongkang yang terlibat diketahui berkode M80-1302, yang pada saat kejadian tengah ditarik oleh tugboat KD 2018. Berdasarkan informasi awal dari aparat di lapangan, kapal tersebut sedang berada dalam proses persiapan pengolongan ketika terjadi senggolan dengan salah satu pilar jembatan. Hingga kini, petugas masih melakukan pemeriksaan teknis untuk memastikan pilar yang terdampak, tingkat kerusakan struktur, serta potensi gangguan terhadap keselamatan jembatan.
Insiden ini kembali memunculkan kekhawatiran publik lantaran bukan pertama kalinya Jembatan Mahulu serta Jembatan Mahakam I mengalami tabrakan serupa. Dalam beberapa tahun terakhir, dua jembatan yang menjadi penghubung vital aktivitas masyarakat Samarinda itu berulang kali dilaporkan tersenggol kapal tongkang. Rentetan kejadian tersebut memunculkan pertanyaan besar terkait efektivitas pengawasan, kepatuhan terhadap prosedur keselamatan, serta ketegasan penegakan aturan pelayaran di Sungai Mahakam.
Pengamat maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center, Dr Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, menilai insiden yang terus berulang ini menunjukkan adanya persoalan sistemik dalam pengelolaan keselamatan pelayaran sungai.
“Kalau kejadian tabrakan terjadi sekali, mungkin masih bisa disebut kecelakaan. Tetapi jika berulang di titik yang sama, maka ini indikasi kuat ada yang salah dalam sistem baik dari sisi penegakan aturan, mitigasi risiko, maupun pengawasan di lapangan,” ujarnya.
Menurutnya, selama ini penyebab insiden kerap diarahkan pada faktor alam, seperti kuatnya arus Sungai Mahakam atau gangguan teknis kapal. Namun, pendekatan tersebut dinilai terlalu menyederhanakan masalah.
“Faktor human error dan kesiapan kru, termasuk kemampuan kapal tunda, sering kali luput dari perhatian. Padahal, pelayaran sungai dengan arus dinamis seperti Mahakam menuntut standar kompetensi dan kesiapan yang tinggi,” katanya.
Hakeng juga menyoroti aspek standar operasional prosedur (SOP) pengolongan kapal. Ia menilai tabrakan yang berulang di lokasi yang relatif sama patut menjadi alarm bahwa perhitungan teknis pelayaran perlu dievaluasi ulang secara menyeluruh.
“Perlu ditinjau kembali apakah perhitungan lebar alur, kekuatan arus pada jam tertentu, hingga batas maksimal dimensi tongkang yang diizinkan melintas sudah benar dan relevan dengan kondisi aktual sungai,” ucapnya.
Sorotan lain tertuju pada dugaan pelanggaran jadwal pengolongan. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, jadwal pengolongan di kawasan Jembatan Mahulu ditetapkan mulai pukul 06.00 WITA. Namun, insiden kali ini dilaporkan terjadi sekitar pukul 05.00 WITA, atau satu jam lebih awal dari waktu yang ditentukan.
“Jika benar kapal bergerak sebelum window time resmi dibuka, maka ini bukan sekadar kecelakaan, tetapi dugaan pelanggaran serius terhadap keselamatan pelayaran,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia meminta Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) sebagai regulator dan pemegang otoritas tertinggi di wilayah pelabuhan untuk memberikan penjelasan terbuka kepada publik.
“KSOP harus menjawab mengapa kapal bisa bergerak di luar jam yang ditetapkan. Apakah pengawasan di lapangan lemah, ada pembiaran, atau koordinasi antarinstansi yang tidak berjalan optimal,” tambahnya.
Tanggung jawab juga diarahkan kepada Pelindo sebagai penyedia jasa pemanduan dan penundaan kapal. Menurut Hakeng, peran Pelindo sangat krusial dalam memastikan kapal yang dipandu mematuhi jadwal dan prosedur keselamatan.
“Jika kapal bergerak lebih awal, risikonya sangat tinggi, terutama pada kondisi arus yang belum stabil dan jarak pandang terbatas. Karena itu, investigasi internal Pelindo harus dilakukan secara transparan dan hasilnya disampaikan ke publik,” lanjutnya.
Sebagai langkah pencegahan jangka panjang, Hakeng mendorong pembentukan posko pemantauan pelayaran secara real-time di sekitar Jembatan Mahulu. Ia menilai pendekatan pengawasan yang bersifat reaktif baru bergerak setelah kejadian sudah tidak relevan dengan intensitas lalu lintas sungai saat ini.
“Dengan teknologi yang tersedia sekarang, tidak ada alasan lagi mengandalkan sistem manual atau laporan pascakejadian,” sorotnya.
Ia mengusulkan penerapan Vessel Traffic Service (VTS) yang terintegrasi antara KSOP, Pelindo, operator kapal, serta aparat penegak hukum. Sistem tersebut diharapkan mampu memantau pergerakan kapal selama 24 jam penuh.
“Posko ini perlu dilengkapi dengan CCTV berkemampuan night vision dan radar di titik-titik strategis. Jika ada kapal yang bergerak di luar jadwal, petugas bisa langsung memberikan peringatan atau mencegah kapal mendekati jembatan,” pungkasnya. (SIK)
Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id







