Samarinda Benahi Aturan UMK agar Selaras dengan Arah Kebijakan Baru Nasional

Ritel modern menjadi salah satu sektor yang diatur dalam Raperda UMK, termasuk kewajiban menyediakan ruang hingga 30 persen bagi produk lokal. (Foto: Ree/Kaltimetam.id)

Samarinda, Kaltimetam.id – DPRD Samarinda tengah melakukan penyesuaian besar terhadap regulasi perlindungan usaha mikro dan kecil (UMK). Langkah ini dilakukan untuk memastikan seluruh kebijakan daerah berada pada satu garis yang sama dengan perubahan kebijakan nasional, sekaligus menjawab dinamika lapangan yang terus berkembang.

Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pemberdayaan, Pengembangan, dan Perlindungan UMK yang telah disusun sejak beberapa tahun lalu kini memasuki tahap harmonisasi akhir.

Komisi I DPRD Samarinda menilai bahwa raperda tidak cukup hanya disahkan, tetapi juga harus diselaraskan dengan arah ekonomi pemerintah terbaru.

Ketua Komisi I DPRD Samarinda, Samri Shaputra, menjelaskan bahwa rapat finalisasi yang digelar pada Selasa kemarin (18/11/2025) dilakukan untuk memastikan seluruh pasal sesuai kebutuhan hari ini.

“Raperda itu untuk melindungi pengusaha-pengusaha mikro. Prosesnya panjang, dan kami memantapkan finalisasi. Insyaallah segera disahkan menjadi perda,” ujarnya.

Salah satu tantangan dalam penyelarasan itu muncul karena sebagian besar pasal dirancang pada masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ketika pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo mulai menetapkan arahan ekonomi yang berbeda, sejumlah pasal harus dipertimbangkan ulang agar tidak bertentangan dengan kebijakan pusat.

“Ada pasal-pasal yang perlu disesuaikan. Raperda itu kan mulai disusun saat era Pak Jokowi. Sekarang di era Pak Prabowo ada kebijakan baru, jadi pasal yang tidak relevan dikoreksi,” terangnya.

Pembahasan menjadi semakin kompleks ketika masuk ke isu penyediaan ruang promosi untuk UMK di ritel modern. Regulasi mewajibkan 30 persen ruang usaha, baik di BUMD maupun swasta dialokasikan untuk produk lokal.

Kebijakan ini membawa misi keberpihakan, namun juga memunculkan pertanyaan soal kelayakan penerapan.

Samri memberikan gambaran teknis mengenai kebijakan tersebut.

“Contohnya ritel modern seperti Indomaret atau Alfamidi. Mereka wajib menyediakan 30 persen tempat di dalam toko untuk produk UMK, seperti sayur-sayuran, buah, atau produk lokal lain. Sistemnya seperti konsinyasi dan tanpa biaya sewa,” jelas Samri.

Namun dalam proses penyelarasan, Komisi I menyadari bahwa kebijakan yang terlalu kaku justru bisa gagal diterapkan. Ada jenis ritel yang tidak memiliki ruang memadai, dan memaksakan aturan justru berpotensi menimbulkan masalah baru.

“Kalau tokonya kecil sekali, 30 persen itu beban juga. Kami ikuti peraturan yang mengatur itu, tapi realitas lapangan juga harus dilihat. Jangan sampai aturan dibuat tapi tidak bisa dijalankan,” kata Samri.

Bagi Komisi I, inti dari raperda ini adalah memberikan perlindungan jangka panjang bagi UMK, bukan membebani pelaku usaha lain.

Pemerintah daerah, menurut Samri, perlu hadir bukan hanya sebagai pembuat aturan, tetapi juga sebagai pendamping agar UMK memiliki daya saing.

“Pemerintah harus hadir memberi pembinaan. Harapan kami, usaha kecil itu minimal bisa bertahan dan berkembang jadi usaha menengah bahkan besar,” pungkasnya. (REE)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id