Ruang Publik untuk Siapa? Pengamat Ingatkan PKL Punya Hak untuk Bertahan Hidup

Proses penertiban PKL di Taman Depan Islamic Center Kota Samarinda. (Foto: Siko/Kaltimetam.id)

Samarinda, Kaltimetam.id – Penertiban pedagang kaki lima (PKL) yang kembali dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Samarinda di kawasan ruang publik, khususnya di area taman dan halaman depan Masjid Islamic Center, memunculkan perdebatan lama yang tak kunjung selesai. Di satu sisi, pemerintah ingin menegakkan aturan dan menjaga wajah kota tetap rapi. Namun di sisi lain, banyak keluarga menggantungkan hidup dari aktivitas berdagang di lokasi tersebut.

Penertiban pada Selasa (4/11) merupakan upaya rutin Satpol PP untuk memastikan ruang publik tidak berubah fungsi menjadi area komersial tanpa izin. Tindakan itu merujuk pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2025 tentang Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat. Aparat menegaskan, kawasan tersebut harus steril dari pedagang yang menghambat akses pengunjung maupun mengurangi estetika kota.

Namun, apa yang di lapangan seringkali tidak sesederhana aturan tertulis. Dalam operasi terbaru, terlihat sejumlah pedagang keberatan saat diminta meninggalkan lokasi dagang mereka. Beberapa bahkan menyatakan tidak memiliki alternatif tempat lain yang cukup ramai untuk menopang pendapatan harian.

Pengamat kebijakan publik Universitas Mulawarman Samarinda, Saipul Bahtiar, menilai pemerintah memang perlu menjaga ketertiban kota, namun harus disertai kepedulian terhadap rakyat kecil.

“Setiap kebijakan yang diterapkan harus dievaluasi secara berkala. Pertanyaannya, apakah perda ini masih relevan dengan kondisi ruang kota dan kebutuhan ekonomi masyarakat saat ini?” ujarnya, Kamis (6/11/2025).

Saipul mengapresiasi langkah Pemkot menghadirkan ruang publik baru seperti Teras Samarinda yang berhasil menjadi titik rekreasi dan ekonomi kreatif. Namun menurutnya, masih banyak ruang kota lain yang bisa dikembangkan sebagai kawasan usaha mikro, seperti tepi Sungai Mahakam dan sekitar Taman Bebaya.

“Kawasan publik itu bisa menjadi tempat wisata sekaligus ruang ekonomi masyarakat. Kalau dikelola baik, pemerintah juga bisa menarik retribusi sehingga berkontribusi pada pendapatan daerah,” jelasnya.

Lebih lanjut, Saipul menekankan pentingnya pendekatan humanis dan sosialisasi yang memadai. Ia menilai, pemicu gesekan kerap muncul ketika pedagang tidak mengetahui apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, atau ketika larangan muncul tanpa solusi jelas.

“Kalau ada larangan di satu lokasi, harus ada tempat alternatif jauh sebelum penertiban dilakukan. Itu bentuk hadirnya negara dalam memberi kepastian bagi warga kecil,” tegasnya.

Dalam penertiban kemarin, sempat terjadi adu argumen antara pedagang dan petugas. Satpol PP bahkan terpaksa mengamankan sejumlah barang dagangan sebagai bentuk tindakan administratif terakhir.

“Sosialisasi itu penting. Kalau sudah berkali-kali diingatkan tapi tetap melanggar, penindakan tegas adalah konsekuensi. Namun langkah persuasif harus selalu diutamakan,” tambahnya.

Data BPS menunjukkan sektor informal masih menjadi tulang punggung ekonomi di banyak kota termasuk Samarinda. PKL menciptakan lapangan kerja, menggerakkan pasokan barang, dan melayani kebutuhan konsumsi harian masyarakat.

Karena itu menurut Saipul, keberadaan mereka bukan masalah yang harus dihapus, melainkan dikelola.

“Kota bisa tertib dan rapi, tapi masyarakat juga harus tetap punya ruang untuk hidup. Prinsipnya adalah keseimbangan. Penataan harus meningkatkan kualitas ruang publik sekaligus kualitas hidup warganya,” pungkasnya. (SIK)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id