Samarinda, Kaltimetam.id – Menjamurnya toko swalayan dan ritel modern di Samarinda dalam beberapa tahun terakhir mulai menjadi perhatian serius Pemerintah Kota (Pemkot). Pasalnya, pertumbuhan yang begitu pesat tanpa diimbangi pengaturan zonasi dan jarak antargerai dikhawatirkan berdampak pada keberlangsungan pedagang tradisional.
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Samarinda pun menilai, aturan yang ada saat ini sudah tidak relevan dengan perkembangan lapangan.
Pejabat fungsional bidang penata perizinan ahli madya DPMPTSP Samarinda, Chairuddin, mengungkapkan bahwa Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Rakyat, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Swalayan perlu dikaji ulang.
Menurutnya, aturan tersebut disusun jauh sebelum munculnya sistem perizinan berbasis risiko serta pesatnya perkembangan ritel modern yang kini menjamur di hampir seluruh kecamatan di Samarinda.
“Perwali yang ada sekarang sudah tidak sesuai dengan kondisi terkini. Dulu saat diterbitkan, pertumbuhan ritel masih terkendali. Tapi sekarang, dalam satu radius bisa ada tiga sampai empat toko swalayan yang berdiri berdekatan,” ujar Chairuddin, Sabtu (8/11/2025).
Chairuddin menjelaskan, Perwali Nomor 9 Tahun 2015 awalnya disusun untuk mengatur tata letak dan pembinaan toko swalayan agar tidak merugikan pedagang kecil.
Namun, seiring perkembangan sistem perizinan yang semakin digital dan cepat, kontrol pemerintah terhadap lokasi dan jumlah gerai menjadi semakin lemah.
Terlebih, sistem Online Single Submission (OSS) yang digunakan sekarang memungkinkan izin terbit otomatis jika tidak ditindaklanjuti oleh dinas teknis dalam waktu lima hari.
“Sekarang izin bisa keluar otomatis kalau dalam lima hari tidak ada tindak lanjut dari perangkat daerah teknis. Itu sesuai aturan perizinan berbasis risiko. Jadi pertumbuhan toko swalayan menjadi sangat cepat,” jelasnya.
Data DPMPTSP menunjukkan, sejak tahun 2021 hingga 2025 sudah terdapat 328 izin usaha yang diterbitkan untuk kategori toko swalayan dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 47111.
Sebagian besar izin tersebut berada di kategori usaha mikro dan kecil dengan risiko rendah, sehingga tak perlu melalui proses evaluasi panjang.
Kondisi ini tentu berdampak pada pedagang tradisional yang mengandalkan pasar rakyat sebagai sumber pendapatan. Kehadiran toko swalayan modern di dekat pasar dinilai menggerus omzet para pedagang karena perbedaan harga dan fasilitas.
“Banyak laporan dari masyarakat, terutama pedagang kecil, yang merasa tersaingi karena lokasi toko modern terlalu dekat dengan pasar tradisional,” terang Chairuddin.
Aturan nasional sebenarnya telah mengatur jarak dan zonasi antara toko swalayan dan pasar tradisional melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2021 tentang Pedoman Pengembangan, Penataan, dan Pembinaan Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan.
Namun, aturan tersebut belum sepenuhnya diterapkan di daerah, termasuk di Samarinda.
“Di dalam Permendag sudah diatur soal zonasi, jarak antargerai, dan pembinaan terhadap pelaku usaha. Tapi karena belum diadaptasi dalam peraturan daerah, akhirnya implementasinya di lapangan belum berjalan maksimal,” tambahnya.
Chairuddin menilai, solusi utama adalah dengan merevisi Perwali agar selaras dengan regulasi nasional dan kondisi faktual di lapangan.
Ia juga menyarankan agar Pemkot melibatkan berbagai perangkat daerah, seperti Dinas Perdagangan dan Dinas PUPR bidang tata ruang, dalam pembahasan revisi tersebut.
Hal itu penting untuk memastikan setiap gerai ritel modern berdiri sesuai zonasi dan tidak tumpang tindih dengan area usaha kecil.
“Kalau ingin mengendalikan pertumbuhan toko swalayan, maka Perwali harus disesuaikan dengan kondisi terkini. Kabupaten Hulu Sungai Tengah sudah menerapkan hal ini dengan melibatkan dinas perdagangan dan tata ruang, hasilnya pertumbuhan ritel modern di sana jauh lebih tertata,” kata Chairuddin.
Ia menegaskan, pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara kemudahan investasi dan keberlangsungan ekonomi lokal.
Menurutnya, ritel modern memang memberi manfaat bagi konsumen, tetapi jika tidak diatur dengan baik, justru bisa menggerus pelaku usaha kecil yang menjadi tulang punggung ekonomi daerah.
“Yang kita inginkan bukan melarang tumbuhnya toko modern, tapi menatanya supaya seimbang antara yang besar dan kecil,” tutupnya. (REE)
Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id







