Pendidikan Inklusif Belum Optimal, Komisi X DPR RI Desak Penguatan Aturan di RUU Sisdiknas

Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian (Foto: Siko/Kaltimetam.id)

Samarinda, Kaltimetam.id – Komisi X DPR RI menegaskan komitmennya untuk memperkuat regulasi terkait guru serta memastikan pendidikan inklusif mendapat porsi pengaturan yang lebih komprehensif dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas).

Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian menerima berbagai masukan dari tenaga pendidik, pemerhati pendidikan, hingga pemangku kepentingan di daerah.

Dalam rangkaian forum dengar pendapat (FGD) yang melibatkan guru, kepala sekolah, dan para pegiat pendidikan, Komisi X menyerap aspirasi terutama mengenai peningkatan kualitas guru serta penanganan kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus yang semakin meningkat.

“Masukan dari para ibu yang mengikuti FGD sangat penting, karena memperkuat perhatian kita terhadap status, kompetensi, dan kesejahteraan guru,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa peningkatan kualitas guru harus diiringi dengan kebijakan yang memberikan kepastian status, perlindungan hukum, dan peningkatan profesionalitas melalui mekanisme sertifikasi serta pengembangan kompetensi berkelanjutan.

Hetifah menjelaskan bahwa guru merupakan garda terdepan dalam proses pendidikan, sehingga kebijakan nasional harus menempatkan kesejahteraan dan profesionalitas mereka sebagai prioritas. Menurutnya, beban yang dihadapi guru semakin kompleks, mulai dari tuntutan penguasaan teknologi, penyesuaian kurikulum, hingga kebutuhan pendampingan psikososial bagi siswa pascapandemi.

Dengan demikian, revisi regulasi harus memastikan posisi guru lebih terlindungi. Ia menyebut bahwa RUU Sisdiknas perlu memberi payung hukum yang jelas terhadap status guru, termasuk guru honorer yang selama bertahun-tahun menghadapi ketidakpastian.

“Peningkatan kompetensi akan berbanding lurus dengan kesejahteraan guru. Oleh karena itu, kebijakan sertifikasi, peningkatan kualifikasi, hingga peluang pengembangan karier harus diatur lebih berpihak,” katanya.

Isu lain yang menjadi sorotan Komisi X adalah meningkatnya jumlah siswa penyandang disabilitas yang kini bersekolah di jenjang reguler maupun sekolah luar biasa (SLB). Hetifah mengungkapkan bahwa fenomena ini menunjukkan perubahan positif dalam masyarakat, namun sekaligus membuka tantangan baru bagi pemerintah untuk memastikan layanan pendidikan yang benar-benar inklusif.

Menurutnya, regulasi yang berlaku saat ini belum sepenuhnya mengatur pendidikan inklusif secara mendalam. Banyak sekolah belum memiliki guru pendamping khusus (GPK), sarana yang ramah disabilitas, maupun kurikulum adaptif. Oleh karena itu, Komisi X DPR RI mendorong agar RUU Sisdiknas menyertakan satu bab khusus yang mengatur pendidikan inklusif secara lebih detail.

“Anak-anak berkebutuhan khusus sangat beragam karakteristiknya. Mereka yang memiliki disabilitas maupun kecerdasan khusus membutuhkan pendekatan yang berbeda. Karena itu, guru pendamping baik di SLB maupun sekolah inklusi harus mendapatkan perhatian dan dukungan khusus,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa pendidikan inklusif bukan hanya soal akses, tetapi juga jaminan bahwa anak-anak disabilitas mendapatkan layanan yang setara, berkualitas, dan sesuai kebutuhan perkembangan mereka.

Lebih lanjut, Hetifah menilai bahwa perubahan sikap masyarakat terhadap anak-anak berkebutuhan khusus merupakan indikator kemajuan sosial. Jika pada masa lalu sebagian keluarga memilih menyembunyikan kondisi anak, kini masyarakat semakin terbuka dan aktif menuntut layanan pendidikan yang lebih baik.

“Kesadaran masyarakat meningkat. Layanan yang dibutuhkan juga semakin kompleks. Karena itu, kita harus memastikan sarana prasarana sekolah lebih inklusif dan guru-guru memiliki kapasitas yang memadai,” ucapnya.

Ia menegaskan bahwa negara harus hadir untuk memenuhi kebutuhan tersebut, terutama melalui regulasi nasional yang memberikan arah jelas bagi penyelenggara pendidikan di seluruh Indonesia.

Komisi X DPR RI menyampaikan bahwa seluruh masukan dari daerah akan menjadi bagian penting dalam penyempurnaan RUU Sisdiknas. Hetifah menilai bahwa proses penyusunan regulasi harus melibatkan semua pihak agar kebijakan yang dihasilkan tidak hanya ideal di atas kertas, tetapi juga dapat menjawab kebutuhan nyata di lapangan.

“Kita ingin semua anak Indonesia tanpa kecuali mendapatkan layanan pendidikan terbaik, dan kita juga ingin memastikan peningkatan serta kesejahteraan tenaga pendidik,” pungkasnya. (SIK)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id