Kutai Kartanegara, Kaltimetam.id – Upaya melindungi benda dan situs bersejarah sebagai bagian dari cagar budaya tidak dapat sepenuhnya dibebankan pada pemerintah, melainkan butuh keterlibatan aktif masyarakat di setiap lini.
Hal itu ditegaskan Pamong Budaya Ahli Muda Bidang Cagar Budaya dan Permuseuman, M. Saidar atau akrab disapa Deri, saat memberikan penjelasan terkait proses dan tanggung jawab dalam pelestarian cagar budaya.
“Masyarakat harus merasa memiliki dan ikut serta menjaga objek budaya yang ada di sekitarnya,” ucap Deri dalam wawancaranya pada (2/5/2025)
Ia menuturkan bahwa kesadaran publik untuk merawat peninggalan sejarah justru menjadi kunci utama keberhasilan pelestarian. Tanpa dukungan warga, benda-benda bersejarah yang telah ditetapkan pun bisa rusak atau lenyap secara perlahan.
“Pelestarian tidak berhenti setelah penetapan. Justru setelah ditetapkan sebagai cagar budaya, objek tersebut harus dijaga lebih serius,” tambahnya menjelaskan.
Deri juga mengungkapkan bahwa masyarakat perlu dibekali informasi yang memadai mengenai apa itu cagar budaya, bagaimana cara mengidentifikasinya, serta mengapa penting untuk dilindungi. Menurutnya, edukasi harus terus dilakukan secara rutin dan menyentuh hingga ke tingkat paling dasar.
“Tanpa pemahaman yang benar, masyarakat bisa salah menilai benda bersejarah, bahkan ada yang menjual atau merusaknya,” tegasnya.
Ia kemudian menguraikan bahwa tidak semua benda tua bisa serta-merta diakui sebagai cagar budaya. Ada sejumlah syarat ketat yang harus dipenuhi, seperti usia minimal 50 tahun, keunikan gaya arsitektur, serta nilai historis, pendidikan, atau keagamaan yang melekat.
“Nilai pentingnya harus jelas dan bisa diuji oleh tim ahli lintas disiplin,” jelas Deri.
Sejak 2021 hingga 2022, terdapat sembilan objek di Kutai Kartanegara yang berhasil ditetapkan sebagai Cagar Budaya tingkat kabupaten. Beberapa di antaranya adalah Situs Muara Kaman, Rumah Penjara Sangasanga, hingga Makam Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa di Loa Kulu.
Objek-objek tersebut dinilai memiliki nilai sejarah mendalam dan jejak penting dalam perjalanan budaya lokal, baik dari aspek perlawanan rakyat, arsitektur khas, hingga pengaruh religius yang masih terasa hingga kini.
“Proses penetapannya tidak mudah. Kami melakukan penelitian, diskusi, dan uji akademis secara menyeluruh sebelum status itu diberikan,” ujar Deri lebih lanjut.
Namun, ia menegaskan bahwa status tersebut bukanlah akhir dari perjalanan pelestarian, melainkan awal dari tanggung jawab kolektif yang harus dijalankan bersama antara pemerintah dan masyarakat.
Pemerintah daerah, lanjut Deri, memang memiliki kewajiban untuk menyediakan anggaran dan tenaga ahli guna merawat situs-situs tersebut. Namun tanpa peran aktif warga setempat, pelestarian akan berjalan timpang dan tidak berkelanjutan.
“Banyak situs rusak bukan karena usia, tapi karena kelalaian dalam menjaganya,” ucapnya menyoroti fakta di lapangan.
Ia berharap ke depan akan ada lebih banyak komunitas, pelajar, hingga tokoh adat yang bergabung dalam gerakan pelestarian budaya. Dengan kolaborasi lintas sektor, Deri optimistis warisan leluhur akan tetap hidup dan dapat dinikmati generasi mendatang. (Adv/DiskominfoKukar/SIK)
Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id