Kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan Urgensi Pengesahan RUU PPRT

Banyak terjadi kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang ada di Indonesia, serta urgensi terhadap pengesahan RUU PPRT. (Foto: Istimewa)

Samarinda, Kaltimetam.id – Pekerja rumah tangga (PRT) merupakan salah satu kelompok pekerja paling rentan di Indonesia. Data dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat bahwa lebih dari 4 juta orang bekerja di sektor domestik, dengan sebagian besar berjenis kelamin perempuan dan bekerja tanpa perlindungan hukum yang memadai (Prasetyo & Azizah, 2024).

Kondisi ini menyebabkan mereka rentan mengalami kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual di tempat kerja. Situasi ini diperparah oleh posisi kerja mereka yang berada di ruang privat, sehingga sulit diawasi oleh negara dan seringkali tidak tercatat dalam sistem pelaporan resmi.

Kasus serupa juga ditemukan di berbagai daerah, termasuk Kalimantan Timur, di mana pekerja domestik di wilayah perkotaan seperti Samarinda dan Balikpapan masih menghadapi eksploitasi akibat minimnya pengawasan dan mekanisme pelaporan yang efektif.

Permasalahan utama dalam isu ini adalah ketiadaan payung hukum khusus yang melindungi hak-hak PRT. Hingga saat ini, pekerja rumah tangga belum diakui sepenuhnya dalam kerangka Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sehingga posisi mereka tetap dianggap informal dan tidak memperoleh perlindungan yang setara dengan pekerja formal.

Kondisi ini menciptakan kesenjangan hukum yang memungkinkan terjadinya kekerasan, eksploitasi upah, jam kerja berlebihan, dan pengabaian hak-hak dasar seperti cuti atau jaminan sosial. Dalam banyak kasus, aparat penegak hukum hanya menggunakan pasal-pasal umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk menindak pelaku kekerasan terhadap PRT, padahal pasal-pasal tersebut tidak menyentuh akar masalah struktural ketenagakerjaan domestik juga menemukan bahwa sistem peradilan di Indonesia cenderung tidak memadai dalam menangani kekerasan di ruang domestik karena lemahnya regulasi dan perspektif aparat terhadap kerja rumah tangga sebagai ranah privat.

Dari sisi kebijakan, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) telah diusulkan sejak 2004 dan terus masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tetapi hingga kini belum disahkan menjadi undang-undang. Padahal, RUU ini dirancang untuk memberikan perlindungan komprehensif bagi PRT, termasuk pengaturan tentang jam kerja, upah layak, jaminan sosial, cuti, dan mekanisme penyelesaian sengketa antara pekerja dengan pemberi kerja menegaskan bahwa stagnasi pengesahan RUU ini bukan hanya masalah politik, tetapi juga refleksi dari bias sosial yang masih memandang kerja domestik sebagai “bantuan keluarga” alih-alih pekerjaan profesional.

Sementara itu, aturan yang ada seperti Permenaker terkait pekerja informal belum mampu memberikan perlindungan hukum yang substantif karena tidak mencakup relasi kerja domestik secara spesifik
Situasi ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap PRT masih sangat lemah dan membutuhkan intervensi negara yang lebih serius.

menekankan bahwa ketiadaan perlindungan hukum yang memadai menempatkan PRT dalam kondisi rentan yang secara struktural memelihara ketimpangan gender dan ekonomi. Oleh karena itu, pengesahan RUU PPRT menjadi langkah penting untuk menjamin hak dasar pekerja domestik, serta memperkuat tanggung jawab negara dalam melindungi warganya dari kekerasan di ruang privat. Selain itu, pemerintah daerah juga dapat berperan aktif melalui penyusunan Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan PRT, pendataan pekerja rumah tangga, serta pembentukan mekanisme pengaduan dan pelatihan bagi pemberi kerja.

Inisiatif lokal semacam ini dapat menjadi langkah awal menuju keadilan sosial dan perlindungan yang lebih setara bagi seluruh pekerja rumah tangga di Indonesia. (INDRIYANI)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id