Samarinda, Kaltimetam.id – Menulis skenario film bukan sekadar merangkai dialog dan konflik. Di balik setiap adegan yang tersaji di layar lebar, terdapat pergulatan panjang antara idealisme kreatif penulis dan kebutuhan industri yang harus menjangkau penonton seluas mungkin. Pergulatan itulah yang akrab dirasakan Junisha Aurelita Andanya, penulis skenario film yang kini aktif berkarya di industri perfilman nasional.
Perempuan kelahiran Samarinda yang akrab disapa Jeha ini menilai, tantangan terbesar penulis skenario adalah menjaga agar cerita tetap jujur dan bernuansa personal, namun tetap mudah dipahami dan relevan bagi penonton. Industri film, menurutnya, menuntut karya yang tidak hanya kuat secara artistik, tetapi juga mampu berkomunikasi dengan publik luas.
“Film yang saya tulis bukan hanya untuk saya sendiri. Ada banyak kepala, banyak latar belakang penonton, dan semuanya harus bisa merasa terhubung,” katanya.
Minat Jeha pada dunia cerita tumbuh sejak usia dini. Ia mengaku gemar menonton film, membaca komik, hingga menikmati anime sejak duduk di bangku sekolah dasar. Namun, kegemaran itu awalnya hanya sebatas sebagai penikmat, tanpa pernah terpikir akan menjadi profesi.
Keseriusannya baru terbangun ketika ia memutuskan menempuh pendidikan di jurusan film di Pulau Jawa. Perpindahan dari Samarinda ke Tangerang membuka akses yang lebih luas terhadap ekosistem industri kreatif, sekaligus mempertemukannya dengan jejaring profesional di bidang perfilman.
“Di sana saya bertemu banyak orang yang akhirnya membuka kesempatan untuk terjun langsung ke industri sesuai dengan jurusan saya,” ujarnya.
Selepas kuliah, Jeha tidak langsung masuk ke produksi film layar lebar. Ia terlebih dahulu mengasah kemampuannya sebagai tim kreatif penulis naskah sinetron di MNC Pictures. Pengalaman tersebut memberinya pemahaman mendalam tentang ritme produksi, tuntutan pasar, serta pentingnya disiplin dalam menulis cerita berseri.
Namun, hasrat untuk naik kelas ke film layar lebar terus menguat. Ia pun mengambil keputusan untuk berpindah jalur, hingga akhirnya bergabung dengan rumah produksi film yang kini menjadi tempatnya berkarya.
Bagi Jeha, menulis film komersial bukan berarti mengorbankan nilai cerita. Justru di situlah tantangannya: bagaimana menyampaikan gagasan yang kompleks dengan cara yang sederhana dan emosional.
“Saya harus melihat cerita dari banyak perspektif. Bukan cuma dari sudut pandang saya sebagai penulis, tapi juga dari sudut pandang penonton. Apakah konflik ini cukup kuat? Apakah karakter ini terasa hidup?” tuturnya.
Ia menyadari, penulis film tidak bisa sepenuhnya berdiri sebagai seniman yang bebas dari tuntutan pasar. Film harus tetap sampai kepada penonton agar pesan yang dibawa tidak berhenti di atas kertas skenario.
Salah satu karya yang ia tulis, film Patah Hati yang Kupilih, berangkat dari kisah nyata yang ia temui di lingkungan kerjanya. Cerita tentang hubungan beda agama, kehamilan di luar nikah, hingga menjadi orang tua di usia muda, tidak diolah secara instan.
Jeha bersama tim kreatif melakukan riset selama sekitar empat bulan. Riset tersebut tidak hanya berupa diskusi dengan individu yang menjalani hubungan beda agama, tetapi juga menggali sisi psikologis para pelaku di dalamnya.
“Kami ngobrol dengan banyak orang. Dari yang menjalani hubungan beda agama, ibu muda, sampai soal mendidik anak tanpa figur ayah. Itu semua penting supaya ceritanya tidak dangkal,” ucapnya.
Dari proses itu, ia menarik benang merah bahwa cinta tidak selalu cukup sebagai modal utama dalam sebuah hubungan. Ada realitas sosial, keluarga, dan tanggung jawab yang tidak bisa diabaikan.
Judul film Patah Hati yang Kupilih sendiri, menurut Jeha, mencerminkan kesadaran dalam mengambil keputusan. Hubungan yang dijalani para tokohnya bukan terjadi karena ketidaksengajaan, melainkan pilihan sadar yang memiliki konsekuensi.
“Bagi saya, hubungan seperti itu adalah pilihan yang disadari. Karena itu patah hatinya juga sebuah pilihan, dengan segala risikonya,” kata Jeha.
Melalui film tersebut, ia berharap penonton tidak hanya larut dalam emosi cerita, tetapi juga melakukan refleksi atas pilihan-pilihan hidup yang mereka hadapi.
Jeha menegaskan, film tidak harus selalu memberikan jawaban pasti. Justru, ruang interpretasi bagi penonton menjadi bagian penting dari pengalaman menonton.
“Penonton bebas menafsirkan. Tidak harus relate untuk bisa merasakan. Tapi kalau setelah menonton mereka jadi berpikir, merenung, itu sudah cukup,” tegasnya.
Ia berharap film ini bisa menjadi ruang perenungan bagi penonton tentang pilihan hidup, kedewasaan, dan keberanian menerima kenyataan.
Terakhir, Jeha pun mengajak publik untuk menyaksikan film terbarunya.
“Buat semuanya, jangan lupa nonton Patah Hati yang Kupilih di bioskop kesayangan Anda,” pungkasnya. (SIK)
Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id
