Samarinda, Kaltimetam.id – Fenomena pejabat publik yang gemar memamerkan kekayaan atau flexing belakangan ramai menjadi sorotan di jagat media sosial. Tindakan tersebut menuai kecaman karena dianggap tidak etis, terutama di tengah situasi ekonomi yang sedang sulit.
Dosen Psikologi Universitas Mulawarman (Unmul), Ayunda, menilai flexing pejabat bukan hanya masalah gaya hidup, tetapi bisa menimbulkan tekanan psikologis dan memperburuk rasa ketidakadilan di masyarakat.
“Dari sisi psikologis, fenomena pejabat yang melakukan flexing atau memamerkan kekayaan sebenarnya bisa menjadi tekanan tersendiri bagi masyarakat yang melihatnya,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, masyarakat saat ini menghadapi tekanan sosial-ekonomi yang tidak ringan. Harga kebutuhan pokok terus merangkak naik, ketidakpastian lapangan kerja masih terasa, dan sejumlah kebijakan pemerintah justru dianggap menambah beban, seperti kenaikan pajak di berbagai daerah.
Dalam kondisi penuh tekanan itu, kata Ayunda, masyarakat semakin sensitif terhadap perilaku pejabat. Ketika ada pejabat yang terang-terangan menampilkan gaya hidup mewah, publik wajar merespons dengan kemarahan.
“Kemarahan itu bentuk frustrasi kolektif. Saat masyarakat merasa terhimpit, lalu melihat pejabat yang justru hidup dalam kemewahan, rasa tidak adil itu semakin kuat,” jelasnya.
Menurutnya, fenomena ini sejalan dengan teori psikologi sosial yang menyebutkan bahwa persepsi ketidakadilan akan menimbulkan frustrasi, yang jika tidak dikelola bisa berujung pada ketidakpercayaan hingga konflik sosial.
Ia juga mengatakan bahwa perilaku flexing pejabat sering diasumsikan sebagai simbol ketidakadilan, apalagi jika kekayaan yang dipamerkan diduga bersumber dari pajak rakyat.
“Ketika masyarakat membayar pajak, yang kemudian digunakan untuk menggaji para pejabat, lalu mereka justru memamerkan kekayaan tanpa rasa empati, hal ini menimbulkan ketidakpuasan yang mendalam,” tegasnya.
Ayunda menambahkan, flexing bukan sekadar persoalan etika personal. Lebih jauh, ia menyangkut legitimasi pemerintah di mata rakyat.
“Begitu publik kehilangan kepercayaan, efeknya akan panjang. Citra pejabat rusak, kebijakan pemerintah pun bisa ditolak karena masyarakat sudah apatis,” katanya.
Ia menyambut baik arahan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang mengimbau pejabat daerah untuk tidak melakukan flexing serta mengurangi kegiatan seremonial yang menghamburkan anggaran. Menurutnya, kebijakan itu merupakan langkah awal yang positif untuk mengembalikan kepercayaan publik.
“Kebijakan Mendagri untuk menghentikan perilaku flexing adalah langkah awal yang baik menuju pejabat publik yang lebih bijak dan berempati,” ujarnya.
Namun, ia menekankan bahwa imbauan tersebut harus benar-benar dijalankan, bukan sekadar seremonial atau wacana.
“Yang dibutuhkan masyarakat sekarang adalah pejabat yang humanis, sederhana, dan berpihak pada rakyat. Itu jauh lebih penting dibanding sekadar citra di media sosial,” tambahnya.
Lebih jauh, Ayunda mengingatkan bahwa fenomena flexing pejabat bukan persoalan sepele. Jika dibiarkan, perilaku ini bisa memperlebar jarak antara pejabat dan rakyat, sehingga berpotensi menimbulkan krisis kepercayaan.
“Fenomena ini ibarat bara dalam sekam. Sekilas mungkin terlihat biasa, tapi jika terus dibiarkan, ia bisa meledak jadi ketidakpuasan sosial yang lebih besar,” paparnya.
Ia juga menilai budaya politik di Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam hal kesederhanaan dan empati.
“Bukan hanya soal individu pejabat, tetapi ini cerminan budaya birokrasi yang belum sepenuhnya berpihak kepada rakyat,” kata Ayunda.
Terakhir, ia berharap momentum kritik publik terhadap flexing pejabat dapat menjadi titik balik.
“Jika pejabat benar-benar mau mendengar suara rakyat, mereka harus berbenah. Hilangkan budaya pamer, tunjukkan keberpihakan nyata. Itulah yang paling dibutuhkan masyarakat saat ini,” pungkasnya. (SIK)
Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id







