Samarinda, Kaltimetam.id – Konflik antara manusia dan buaya yang terus berulang di Kalimantan Timur (Kaltim), khususnya di kawasan pesisir dan bantaran Sungai Sangatta, Kabupaten Kutai Timur (Kutim), kini memasuki babak baru penanganan. Setelah bertahun-tahun menjadi momok bagi warga, masalah ini akhirnya mendapatkan perhatian serius dari DPRD Provinsi Kalimantan Timur.
Anggota Komisi IV DPRD Kaltim, Agusriansyah Ridwan, menyampaikan dukungan penuhnya terhadap langkah Pemerintah Kabupaten Kutai Timur yang tengah mempersiapkan program penangkaran buaya sebagai strategi komprehensif mengatasi konflik yang kerap menimbulkan korban.
“Program penangkaran ini adalah langkah progresif. Kita tidak bisa terus-menerus hanya bersikap reaktif setiap ada kasus serangan buaya. Harus ada solusi sistematis, yang tidak hanya melindungi manusia, tetapi juga menjaga keberlangsungan spesies buaya di habitat alaminya,” ujarnya.
Data resmi menunjukkan bahwa sepanjang 2014 hingga 2023, Kalimantan Timur mencatatkan sedikitnya 83 kasus konflik buaya dan manusia, menjadikannya provinsi dengan insiden tertinggi kedua secara nasional. Dari angka tersebut, sebagian besar terjadi di Kutai Timur — sebuah kabupaten dengan garis pantai luas dan banyak kawasan perairan yang kini menjadi habitat buaya muara (Crocodylus porosus).
Agusriansyah menegaskan bahwa penangkaran buaya bukan hanya sekadar upaya konservasi. Jika dikelola secara profesional, kawasan penangkaran juga bisa berkembang menjadi destinasi wisata edukatif yang bermanfaat bagi masyarakat.
“Penangkaran ini bukan hanya tentang menyelamatkan buaya, tetapi juga menyelamatkan masyarakat dari ancaman serangan. Jika dikelola dengan baik, kawasan ini bisa menjadi pusat wisata edukatif, ruang belajar konservasi bagi generasi muda, sekaligus sumber pendapatan daerah,” paparnya.
Beberapa wilayah di Kutai Timur yang dinilai potensial untuk dijadikan lokasi penangkaran, antara lain Teluk Pandan, Rawa Bening, dan Kenyamanan di Sangatta Utara. Kawasan-kawasan tersebut berada dekat dengan habitat alami buaya, memiliki daya tarik lingkungan, serta mudah diakses untuk pengembangan wisata.
Sebagai legislator Fraksi PKS, Agusriansyah menyoroti pula bahwa penangkaran dapat berfungsi sebagai instrumen pengendalian populasi buaya liar yang selama ini hidup di luar pengawasan dan sering bersinggungan dengan aktivitas masyarakat.
“Dengan adanya kawasan yang dikelola secara profesional, kita bisa meminimalisir risiko serangan sekaligus menyediakan pusat edukasi lingkungan, penelitian, bahkan peluang pengembangan industri turunan secara legal,” jelasnya.
Agusriansyah juga menekankan pentingnya pendekatan kolaboratif dalam implementasi program penangkaran. Menurutnya, keberhasilan upaya ini sangat tergantung pada keterlibatan berbagai pihak: pemerintah daerah, komunitas lokal, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat adat.
“Kami di DPRD Kaltim sangat mendorong agar proyek ini melibatkan semua pemangku kepentingan. Ini harus jadi proyek bersama, bukan hanya milik pemerintah daerah. Dengan kolaborasi, manfaatnya akan jauh lebih luas dan berkelanjutan,” tegasnya.
Lebih jauh, ia melihat adanya peluang pengembangan ekonomi kreatif berbasis konservasi, seperti produksi kulit buaya secara legal, pembuatan produk kerajinan, serta pengembangan paket wisata yang mengedukasi pengunjung tentang ekologi buaya dan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem.
“Kalau dikelola dengan benar, kita bisa membuka lapangan kerja baru, memberdayakan masyarakat sekitar, sekaligus meningkatkan kesadaran publik tentang konservasi. Ini adalah contoh bagaimana konservasi bisa berjalan beriringan dengan pembangunan ekonomi,” imbuhnya.
Namun, Agusriansyah tak menutup mata bahwa akar persoalan konflik ini sesungguhnya juga terkait dengan kerusakan habitat alami buaya. Aktivitas manusia yang merambah wilayah-wilayah konservasi, termasuk penebangan liar, pertambangan ilegal, dan reklamasi pesisir, telah mempersempit ruang hidup buaya.
“Selama habitat mereka terus dirusak, maka konflik akan terus berulang. Kita harus mulai dari hulu menjaga ekosistem sungai dan pesisir. Program penangkaran harus diiringi komitmen jangka panjang untuk memulihkan habitat alami,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa perubahan ekosistem akibat ekspansi pembangunan dan degradasi lingkungan membuat buaya muara terdorong keluar dari wilayah aslinya, masuk ke daerah permukiman, dan akhirnya memicu konflik.
“Kalau kita serius, ini bisa jadi momentum. Penangkaran buaya di Kutai Timur bisa menjadi pionir di Indonesia contoh bagaimana daerah bisa menangani konflik manusia-satwa dengan pendekatan holistik,” pungkas Agusriansyah. (Adv/DPRDKaltim/SIK)
Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id