Demokrasi Terancam, DPRD Samarinda Desak Perlindungan Kebebasan Berekspresi

Ketua Komisi I DPRD Kota Samarinda, Samri Shaputra. (Foto: Siko/Kaltimetam.id)

Samarinda, Kaltimetam.id – Fenomena doxing atau penyebaran data pribadi tanpa izin kembali mengguncang ruang digital Indonesia, kali ini terjadi di Samarinda. Pendiri dan pemimpin redaksi media lokal Selasar.co, Achmad Ridwan, menjadi korban setelah data identitasnya termasuk salinan KTP disebar oleh akun anonim di Instagram. Peristiwa ini memantik kekhawatiran serius terkait ancaman terhadap kebebasan berekspresi, khususnya di dunia maya.

Insiden tersebut terjadi hanya beberapa hari setelah Selasar merilis video monolog yang secara terbuka mengkritik praktik doxing terhadap kreator konten Kingtae.life, seorang warga yang dikenal aktif menyuarakan opini kritis terhadap arah pembangunan kota Samarinda. Publikasi tersebut dinilai sebagian pihak sebagai pemantik tindakan balasan terhadap Ridwan.

Ketua Komisi I DPRD Kota Samarinda, Samri Shaputra, merespons keras kejadian ini. Dalam keterangannya kepada media, Samri mengungkapkan keprihatinan mendalam dan menyebut doxing sebagai bentuk nyata pembungkaman terhadap kebebasan berbicara di era digital.

“Ini bukan sekadar pelanggaran privasi. Ini adalah bentuk intimidasi digital yang mengancam keberanian masyarakat untuk menyampaikan pendapat. Kalau ini dibiarkan, siapa pun bisa jadi korban hanya karena bersuara,” tegasnya.

Ia menambahkan, pola seperti ini bukan hal baru. Menurutnya, setiap kali ada kritik terhadap pemerintah atau kebijakan publik, selalu ada risiko serangan balik dalam bentuk narasi negatif, disinformasi, bahkan pembocoran data pribadi.

“Ini seperti pola yang sudah berulang. Begitu ada suara kritis, langsung ada balasan, seolah-olah kritik itu tidak boleh ada. Ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi,” tambahnya.

Sebagai legislator, Samri menegaskan bahwa fungsi DPRD adalah menjalankan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. Kritik, menurutnya, adalah bagian dari proses koreksi dalam demokrasi, bukan bentuk permusuhan.

“Kami menjalankan tugas, bukan menciptakan konflik. Tapi kadang, ketika kami bicara, dianggap menyerang. Sementara jika kami diam, masyarakat bilang DPRD tidak bekerja. Ini dilema yang harus diluruskan,” jelasnya.

Samri juga menyebut bahwa DPRD tidak hanya mengkritik, tapi juga kerap menyodorkan solusi konkret atas berbagai permasalahan kota. Namun, tidak jarang solusi tersebut tidak direspons oleh pihak eksekutif.

“Beda pendapat antara DPRD dan pemerintah kota adalah hal biasa. Tapi ketika perbedaan itu dijadikan alasan untuk menyerang balik, maka demokrasi kita dalam bahaya,” ujarnya.

Samri menyerukan agar aparat penegak hukum bergerak cepat dan serius dalam menangani kasus-kasus doxing. Ia menegaskan pentingnya kehadiran negara dalam melindungi warga dari ancaman intimidasi digital yang kini semakin marak.

“Kalau dibiarkan, praktik ini bisa jadi alat pembungkaman massal. Negara harus hadir dan menegakkan hukum. Ini soal hak asasi warga untuk bicara tanpa rasa takut,” pungkasnya.

Kasus ini memperlihatkan bagaimana ruang digital yang seharusnya menjadi tempat pertukaran gagasan dan partisipasi publik, justru bisa berubah menjadi arena intimidasi ketika kritik dibalas dengan serangan pribadi. (Adv/DPRDSamarinda/SIK)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id