Krisis Lahan Pemakaman di Samarinda Kian Mendesak, Perlu Aksi Nyata Pemerintah

Krisis lahan kuburan di Kota Samarinda. (Foto: Istimewa)

Samarinda, Kaltimetam.id – Permasalahan lahan pemakaman di Kota Samarinda kini menjadi isu serius yang membutuhkan perhatian segera. Sejumlah Tempat Pemakaman Umum (TPU) seperti TPU Muslimin di Jalan Kakap, Raudhatul Jannah di Samarinda Utara, dan Serayu di Samarinda Ilir telah mencapai kondisi penuh sesak.

Banyak warga kesulitan mendapatkan lahan pemakaman yang layak bagi keluarga mereka, sementara petugas di lapangan menghadapi keterbatasan ruang dan infrastruktur yang kurang memadai. Banyak makam baru terpaksa diletakkan di antara area sempit yang sebelumnya sudah dipenuhi nisan lama, bahkan sebagian menimpa area makam lama karena tidak ada lagi lahan kosong. Situasi ini menimbulkan permasalahan etika dan sosial di masyarakat.

Warga merasa tidak nyaman ketika harus memakamkan keluarganya di area yang sudah terlalu padat, sementara petugas TPU kesulitan menjaga keteraturan dan keindahan lingkungan pemakaman. Di beberapa titik, kondisi drainase yang buruk juga membuat makam sering tergenang air saat hujan, menambah kesan tidak layak bagi tempat peristirahatan terakhir.

Keterbatasan lahan membuat sejumlah keluarga terpaksa memakamkan kerabatnya di luar kota, seperti ke Kukar atau Bontang, dengan biaya tambahan transportasi dan administrasi. Tak sedikit pula warga yang akhirnya membuka lahan pribadi secara darurat untuk pemakaman keluarga, meski tanpa izin resmi. Hal inimenunjukkan bahwa krisis lahan pemakaman di Samarinda telah memasuki tahap darurat sosial.

Pemerintah juga menerapkan sistem pemakaman berbayar yang justru menambah beban masyarakat. Menurut laporan dari Prokal.co (2024), biaya pemakaman di Samarinda dapat mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah, tergantung lokasi dan jenis lahan. Sistem ini menimbulkan kesenjangan sosial, karena warga miskin sering kali kesulitan membayar biaya tersebut. Padahal, menurut prinsip pelayanan publik dasar, hak atas pemakaman yang layak seharusnya dijamin negara, bukan diserahkan sepenuhnya pada kemampuan ekonomi keluarga.

Data dari Dinas Perumahan dan Permukiman (2024) menyebutkan bahwa sekitar 70% lahan pemakaman di Samarinda telah penuh, sementara sisanya diperkirakan hanya mampu menampung pemakaman dalam waktu satu hingga dua tahun ke depan.

Kondisi ini diperparah oleh pertumbuhan penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya, sedangkan penyiapan lahan baru belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Padahal, beberapa lahan milik pemerintah sebenarnya berpotensi dimanfaatkan sebagai TPU baru, namun hingga kini belum dioptimalkan karena belum ada kebijakan tata ruang yang jelas.

Kalau dilihat dari sisi aturan, pemerintah daerah sebenarnya punya tanggung jawab penuh soal penyediaan fasilitas publik ini. Hal ini diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta Perda Samarinda No. 2 Tahun 2015 tentang Retribusi Jasa Umum. Sayangnya, perda tersebut belum mengatur soal keadilan sosial, terutama bagi warga miskin yang seringkali kesulitan membayar biaya pemakaman.

Ada beberapa pilihan kebijakan yang bisa diambil untuk mengurai masalah ini. Pertama, menyediakan lahan pemakaman baru di setiap kecamatan agar lebih merata dan mudah dijangkau masyarakat. Kedua, mengembangkan konsep pemakaman vertikal atau ramah lingkungan (green cemetery) yang bisa menghemat lahan dan selaras dengan visi kota hijau. Ketiga, merevisi Perda tentang pemakaman agar lebih berpihak pada masyarakat kecil, misalnya dengan menghapus biaya pemakaman bagi warga miskin. Kalau dibandingkan, opsi ketiga tampaknya paling realistis dan berkeadilan.

Pemerintah bisa tetap menerapkan sistem retribusi proporsional bagi warga mampu, tapi memastikan semua warga tanpa terkecuali mendapat hak yang sama untuk dimakamkan secara layak. Langkah ini juga bisa berjalan beriringan dengan penyiapan lahan baru dan inovasi pemakaman hijau secara bertahap.

Untuk mewujudkan itu, kolaborasi banyak pihak dibutuhkan. Pemkot Samarinda sebagai pengambil keputusan utama, DPRD sebagai pengawas dan pembuat perda, Dinas Perkim yang bertanggung jawab di lapangan, serta tokoh agama dan masyarakat untuk mendukung sosialisasi konsep pemakaman baru. LSM lingkungan juga bisa dilibatkan agar arah kebijakan tetap berorientasi pada keberlanjutan.

Pada akhirnya, krisis lahan pemakaman di Samarinda bukan sekadar soal ruang, tapi soal kemanusiaan. Pemerintah tak bisa terus menutup mata terhadap warga yang kesulitan mencari tempat untuk memakamkan keluarganya. Sudah saatnya hadir kebijakan yang adil, berpihak, dan manusiawi agar setiap warga, tanpa memandang status sosial, punya hak yang sama untuk beristirahat dengan tenang di kota yang mereka tinggali. (ALYA)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id