Rindu Rumah dan Suara Anak Mengaji, Warga Korban Kebakaran Samarinda Masih Hidup dalam Pengungsian

Suasana warga terdampak kebakaran di Jalan Pangeran Diponegoro Gang Slamet Samarinda yang mengungsi di Pelantaran teras langgar. (Foto: Siko/Kaltimetam.id)

Samarinda, Kaltimetam.id – Sudah tiga hari berlalu sejak kobaran api melahap puluhan rumah warga di Gang Slamet, Jalan Pangeran Diponegoro, RT 12, Kota Samarinda. Namun kepulan asap duka itu masih terasa hingga kini. Di tengah tenda-tenda darurat yang berdiri di lahan sempit, ratusan jiwa korban kebakaran bertahan dalam kondisi serba terbatas.

Malam di posko pengungsian terasa panjang. Suhu udara lembab, lampu sering padam, dan ruang tidur sempit membuat warga harus bergantian beristirahat. Di antara mereka, tampak anak-anak yang tertidur beralaskan tikar, sementara orang tua berjaga hingga larut malam, memastikan keluarga mereka aman.

“Kalau di pengungsian ini kan orang banyak, jadi agak sesak. Lampu juga belum stabil,” ujar Sumar, salah satu warga terdampak, ketika ditemui Sabtu (4/10/2025).

Ia bercerita, kondisi di posko jauh dari nyaman, namun tetap disyukuri sebagai tempat berlindung sementara setelah rumahnya rata dengan tanah.

“Tidur pun berdesakan, rasanya kurang enak. Tapi mau bagaimana lagi, ini sudah takdir,” ucapnya.

Kebakaran yang terjadi pada Kamis (2/10/2025) dini hari itu menghanguskan lebih dari 20 rumah dan membuat sekitar 67 kepala keluarga atau 180 jiwa kehilangan tempat tinggal. Pemerintah Kota Samarinda bersama sejumlah relawan dan lembaga kemanusiaan telah membuka dapur umum di lokasi, menyalurkan bantuan logistik, dan menyiapkan kebutuhan dasar para korban.

Namun, di balik aliran bantuan tersebut, kehidupan di pengungsian tidak selalu mudah. Warga harus beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang sempit, panas, dan minim ventilasi.

“Namanya bukan di rumah sendiri, ya pasti ada keluhan. Tapi Alhamdulillah semua pihak sudah bantu. Dari relawan, Dinsos, sampai PMI,” katanya.

Ia menuturkan, bantuan mulai berdatangan sejak sehari setelah kebakaran.

“Kemarin sore bantuan mulai datang, dan pagi ini sudah kami salurkan ke warga yang paling membutuhkan,” ujarnya.

Namun, masih ada satu persoalan yang belum terselesaikan yaitu aliran listrik.

“Untuk sementara listrik belum tersambung. Mungkin besok baru bisa nyala. Itu yang kami harapkan, karena malam gelap sekali, apalagi banyak anak-anak dan orang tua,” tambahnya.

Bagi Sumar, kehilangan rumah bukan sekadar kehilangan harta benda, tetapi juga kenangan dan kebersamaan yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Ia masih ingat suasana hangat di kampungnya sebelum kebakaran.

“Setiap malam Jumat, Senin, Selasa, dan Sabtu biasanya kami ada majelis. Anak-anak ngaji di langgar belakang rumah. Sekarang semuanya berhenti,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

Langgar tempat anak-anak mengaji memang masih berdiri, namun kegiatan keagamaan terhenti karena banyak pengajar dan jamaahnya menjadi korban kebakaran.

“Banyak ustaz dan anak ngaji rumahnya ikut terbakar. Takutnya nanti warga berpencar kemana-mana, padahal dulu kita kompak,” lanjutnya.

Di tengah kondisi yang serba terbatas, warga hanya memiliki satu harapan yaitu agar pemerintah segera menyiapkan hunian sementara dan membantu mereka memulai kehidupan baru.

“Kalau bisa, tempat hunian itu secepatnya. Supaya kami tidak terlantar di luar,” ucapnya lagi.

Ia berharap pemerintah tidak hanya fokus pada bantuan sesaat, tetapi juga menyiapkan solusi jangka panjang agar para korban bisa bangkit kembali.

“Kami ingin kembali hidup seperti biasa, bisa berkumpul lagi, bisa ngaji lagi, bisa tenang di rumah sendiri,” pungkasnya. (SIK)

Dapatkan informasi terbaru dan terkini di Instagram @Kaltimetam.id